Jumat, 02 Juni 2023

Mahkamah Syar'iyah/Pengadilan Agama Itu Tinggi, Dan Tidak Ada Yang Lebih Tinggi Darinya

 



Mahkamah Syar'iyah/Pengadilan Agama Itu Tinggi,

Dan Tidak Ada Yang Lebih Tinggi Darinya

Penulis : Rovel Rinaldi, SHI., MH

(Kasubbag Umum dan Keuangan Pengadilan Agama Sengeti Kelas IB)

Sarolangun, 03 Juni 2023

 

Wewenang Pengadilan Agama berdasarkan penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah :

A. Perkawinan

Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:

  1. Ijin beristeri lebih dari seorang;
  2. Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
  3. Dispensasi kawin;
  4. Pencegahan perkawinan;
  5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
  6. Pembatalan perkawinan;
  7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
  8. Perceraian karena talak;
  9. Gugatan perceraian;
  10. Penyelesaian harta bersama;
  11. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
  12. Penguasaan anak-anak;
  13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
  14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
  15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
  16. Pencabutan kekuasaan wali;
  17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
  18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
  19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
  20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
  21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur; dan
  22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

B. Waris

Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama disebutkan berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut:

  1. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
  2. Penentuan mengenai harta peninggalan;
  3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
  4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
  5. Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian-bagiannya.

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”. Kini, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang tersebut, kalimat itu dinyatakan dihapus. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan berdasarkan hukum Islam, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Selanjutnya dikemukakan pula mengenai keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh wilayah nusantara yang selama ini berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar hukumnya.

Selain dari itu, berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang untuk menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang agama yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

C. Wasiat

Mengenai wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Peradilan Agama dijelaskan bahwa definisi wasiat adalah: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.” Namun, Undang-Undang tersebut tidak mengatur lebih jauh tentang wasiat. Ketentuan lebih detail diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI, wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.

Ketentuan mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat orang membuat wasiat, harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai berlaku, di mana wasiat dilakukan, seberapa banyak maksimal wasiat dapat diberikan, bagaimana kedudukan wasiat kepada ahli waris, dalam wasiat harus disebut dengan jelas siapa yang akan menerima harta benda wasiat, kapan wasiat batal, wasiat mengenai hasil investasi, pencabutan wasiat, bagaimana jika harta wasiat menyusut, wasiat melebihi sepertiga sedang ahli waris tidak setuju, di mana surat wasiat disimpan, bagaimana jika wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat meninggal dunia, wasiat dalam kondisi perang, wasiat dalam perjalanan, kepada siapa tidak diperbolehkan wasiat, bagi siapa wasiat tidak berlaku, wasiat wajibah bagi orang tua angkat dan besarnya, dan wasiat wajibah bagi anak angkat serta besarnya.

 D. Hibah

Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi tentang hibah sebagai: “pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”

Hibah juga tidak diregulasi secara rinci dalam Undang-Undang a quo. Ia secara garis besar diatur dalam KHI, dengan menempati bab VI, dan hanya diatur dalam lima pasal. Secara garis besar pasal-pasal ini berisi: Subjek hukum hibah, besarnya hibah, di mana hibah dilakukan, harta benda yang dihibahkan, hibah orang tua kepada anak, kapan hibah harus mendapat persetujuan ahli waris, dan hibah yang dilakukan di luar wilayah Republik Indonesia.

E. Wakaf

Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dimaknai sebagai: “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.” Tentang wakaf ini tidak dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang ini.

Ketentuan lebih luas tercantum dalam KHI, Buku III, Bab I hingga Bab V, yang mencakup 14 pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur: Ketentuan umum, yaitu definisi wakaf, wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf; fungsi wakaf; subjek hukum yang dapat mewakafkan harta bendanya; syarat benda wakaf; prosedur mewakafkan; syarat-syarat nadzir; kewajiban dan hak-hak nadzir; pendaftaran benda wakaf; perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf. Khusus mengenai perwakafan tanah milik, KHI tidak mengaturnya. Ia telah diregulasi empat tahun sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977, lembaran negara No. 38 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

F. Zakat

Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. KHI tidak menyinggung pengaturan zakat.

Regulasi mengenai zakat telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Lembaran Negara Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis besar, isi Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk campur tangan dalam bidang zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan zakat; organisasi pengelolaan zakat; pengumpulan zakat; pendayagunaan zakat; pengawasan pengelolaan zakat; dan sanksi terhadap pelanggaran regulasi pengelolaan zakat.

G. Infaq

Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan dengan: “perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlash, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.”

Kewenangan Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini juga tak diatur lebih lanjut.

H. Shadaqah

Mengenai shadaqah diartikan sebagai: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah dan pahala semata.”

Sama seperti infaq, shadaqah juga tidak diatur dalam regulasi khusus. Dan hingga kini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

I. Ekonomi Syari’ah

Ekonomi syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah.” Kewenangan itu antara lain :

  1. Bank Syari’ah;
  2. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah;
  3. Asuransi Syari’ah;
  4. Reasuransi Syari’ah;
  5. Reksadana Syari’ah;
  6. Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah;
  7. Sekuritas Syari’ah;
  8. Pembiayaan Syari’ah;
  9. Pegadaian Syari’ah;
  10. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah; dan
  11. Bisnis Syari’ah.[1]

Ditambah pasal 52 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berbunyi Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta dan Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.

Serta Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah

Sedangkan Mahkamah Syar’iyah  berdasarkan Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh. Pasal 25 ayat 1 menyebutkan, Peradilan Syari’at Islam di Aceh bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah dan Berdasarkan Pasal 128 Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, bahwa Peradilan Syari’at Islam di Aceh bagian dari peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah.

Mahkamah Syar’iyah selain berwenang mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang peradilan agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1979 dan Undang-Undang No. 3 tahun 2006, juga berwenang mengadili perkara jinayat diatur dalam Qanun dan pelimpahan sebagian wewenang Peradilan Umum ke Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh SK Ketua Mahkamah Agung No. KMA/70/SK/X/2004.

Kewenangan mengadili, bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana).[2]

Dari semua kewenangan Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di atas seluruhnya merupakan bagian dari Hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadis. Selaras dengan berfirman Allah Swt, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).

Dan dengan Hadis Nabi yang berbunyi :

الإسلام يعلو ولا يعلى

"Al islaamu ya’lu wa la yu’la."

Artinya: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya,” (HR. Ad-Daruquthni (III/ 181 no. 3564), tahqiq Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abdul Maujud dan Syaikh ‘Ali Mu’awwadh, Darul Ma’rifah, th. 1422 H) dan al-Baihaqy (VI/205) dari Shahabat ‘Aidh bin ‘Amr al-Muzany Radhiyallahu anhu. Lihat Irwaa-ul Ghalil (V/106 no. 1268) oleh Syaikh al-Albany rahimahullah).[3]

Dengan sumber lain yang berbunyi : “ Islam itu agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari pada Islam.” (HR. Baihaqi).[4]

Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.

Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.[5]

Di uraian diatas dapat disimpulkan  Peradilan Agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat, walaupun baru-baru ini ada upaya-upaya mengecilkan kedudukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah seperti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah. Namun demikian Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah itu tetap tinggi karena melaksanakan Hukum Islam, sebagimana tingginya Islam itu sendiri.



 

 

 

 

Kamis, 23 Maret 2023

Hubungan Diskriminasi Layanan Peradilan dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Semangat Reformasi Birokrasi

 


Membeda-bedakan dalam pemberian layanan merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dan tentu menyalahi peraturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Misalnya membedakan di karena perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) atau pun di lihat dari tingkat Pendidikan, kelas sosial, warna kulit, dan  miskin-kaya tentu hal ini bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

Sebagaimana pengertian diskriminasi yang di kutip dalam Wikipedia.org bahwa Diskriminasi (bahasa Inggrisdiscrimination) adalah suatu perbuatan, praktik atau kebijakan yang memperlakukan seseorang atau kelompok secara berbeda dan tidak adil atas dasar karakteristik dari seseorang atau kelompok itu.  Orang dapat didiskriminasi berdasarkan rasjenis kelaminusiaagama atau kepercayaanwarna kulitdisabilitasorientas.i seksual, serta kategori lainnya.[1]

Sedangkan di Indonesia sendiri, pengertian diskriminasi sudah dijelaskan dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan atau pengucilan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, status sosial, golongan, kelompok, jenis kelamin, keyakinan politik, status ekonomi, dan bahasa.[2] 

Dalam memberikan layanan khususnya peradilan apakah itu tingkat pertama, Banding, Kasasi ataupun Peninjauan Kembali (PK). Pengadilan semua tingkatan di Mahkamah Agung sangat dilarang keras memberikan layanan Diskriminatif baik layanan internal/adminitsrasi (naik pangkat, promosi/mutasi, pengajian dll) ataupun proses Perkara.  Dalam pelayanan publik yang diskirminatif yang mengusik rasa keadilan sebagimana kata Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai. [3]

Jadi sangatlah jelas perbuatan atau kebijakan  diskriminatif sangat mengusik rasa keadilan. Banyak faktor yang membuat praktik diskriminatif diantara nya faktor korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Faktor-faktor ini bisa menjadi penyebab perlakuan pelayanan yang diskriminatif. Misalnya adanya suap atau gratifikasi atau nepotisme, seseorang itu anak atau ponakan pejabat tinggi tertentu atau satu golongan tertentu bisa di berikan layanan cepat dan diskriminatif dengan pengguna layanan lainnya. Tentu perbuatan ini mengusik rasa keadilan dan bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN di Indonesia.

Semangat reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi harus senantiasa ditegakkan menuju keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia sebagaimana termaktum dalam Pancasila sila ke-5, karena praktik diskriminatif sangat bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia yakni dalam  Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang  Hak Asasi Manusia dan pelayanan publik yakni Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menguatkan bahwa setiap penyelenggara pelayanan publik wajib memberikan pelayanan berkualitas bagi setiap pengguna layanan.[4]

Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang bertajuk “Survei Nasional Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Penegakan Hukum Dan Persepsi Terhadap Kasus Kanjuruhan” yang dilaksanakan pada 6-10 Oktober 2022. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap TNI mencapai 88% diikuti dengan kepercayaan terhadap presiden sebesar 80%. Adapun lembaga negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi berikutnya adalah Mahkamah Agung (MA), lalu Mahkamah Konstitusi sebesar 62%, Pengadilan dan Kejaksaan Agung sebesar 60%.[5]


 

  


Dari data diatas perlu kita pertahankan tingkat Kepercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum dan persepsi terhadap kasus kanjuruhan khususnya Mahkamah Agung janganlah kepercayaan publik ini kita rusak oleh oknum-oknum yang melakukan praktik-praktik diskrimintatif dalam pelayanan apakah itu layanan eksternal ataupun layanan internal kepada pegawainya sendiri.

Bagi Mahkamah Agung kepercayaan publik merupakan salah satu target utama dalam Agenda Prioritas Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2022-2024. Mahkamah Agung meyakini bahwa kepercayaan publik yang kokoh hanya dapat dibangun di atas capaian kinerja yang riil, serta penerapan nilai-nilai kelembagaan yang genuine dan konsisten. Salah satu cara meraihnya yaitu dengan meningkatkan integritas aparatur lembaga yang ada di dalamnya. [6]

Terlebih sejak  tahun 2018 hingga tahun 2021 tercatat sebanyak 198 (seratus sembilan puluh delapan) satuan kerja yang telah mendapatkan predikat WBK dan 14 (empat belas) satuan kerja yang telah mendapatkan predikat WBBM dan atas capaian tersebut untuk kedua kalinya Ketua Mahkamah Agung dianugerahi sebagai Pemimpin Perubahan Tahun 2020 dan tahun 2021 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.[7]

Sedangkan di tahun 2022 ada 5 satker di lingkungan Mahkamah Agung yang berhasil meraih predikat WBK pada Tahun ini. Adapun kelima satker di Lingkungan Mahkamah Agung yang berhasil meraih predikat WBK yakni : 1. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara (Ditjen Badilmiltun), 2. Pengadilan Tinggi Agama Medan, 3. Pengadilan Tinggi Agama Kendari, 4. Pengadilan Agama Unaaha, 5. Pengadilan Agama Mimika. Sementara itu satu Satker dari Mahkamah Agung berhasil meraih predikat Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yaitu Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta.[8]

 

Begitu luar biasa capaian yang telah di toreh Mahkamah Agung dalam memberantas Korupsi dan reformasi birokrasi, oleh karena itu janganlah kita rusak dengan perlakuan-perlakuan diskriminatif dalam pelayanan dan masyarakat berhak melaporkan perlakuan diskriminatif dan KKN kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga lainnya dalam melakukan perbaikan pelayanan publik.

Dari tulisan diatas dapat di simpulkan bahwa :

1.      Praktik Diskriminatif dalam pelayanan sangat berhubungan erat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), jika adanya praktik diskriminatif dapat di pastikan adanya praktik KKN di dalamnya dan hal ini sangat bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi di Indonesia serta mencederai rasa Keadilan.

2.      Bagi Mahkamah Agung kepercayaan publik  merupakan salah satu target utama dalam Agenda Prioritas Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2022-2024.

 

Penulis : Rovel Rinaldi, SHI., MH. (Kasubbag Umum dan Keuangan, Pengadilan Agama Sengeti Kelas IB), Pada, 23 Maret 2023/1 Ramadhan 1444 Hijriah di Kabupaten Muaro Jambi.