Membeda-bedakan dalam pemberian layanan
merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dan tentu menyalahi peraturan
yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Misalnya membedakan di karena
perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) atau pun di lihat dari
tingkat Pendidikan, kelas sosial, warna kulit, dan miskin-kaya tentu hal ini bertentangan dengan
nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Sebagaimana pengertian diskriminasi yang di kutip dalam Wikipedia.org
bahwa Diskriminasi (bahasa Inggris: discrimination) adalah suatu perbuatan, praktik atau kebijakan
yang memperlakukan seseorang atau kelompok secara berbeda dan tidak adil atas
dasar karakteristik dari seseorang atau kelompok itu. Orang dapat didiskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, usia, agama atau
kepercayaan, warna kulit, disabilitas, orientas.i seksual, serta kategori lainnya.[1]
Sedangkan di Indonesia sendiri, pengertian diskriminasi
sudah dijelaskan dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang
tersebut dijelaskan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan atau pengucilan
yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, status sosial, golongan,
kelompok, jenis kelamin, keyakinan politik, status ekonomi, dan bahasa.[2]
Dalam memberikan
layanan khususnya peradilan apakah itu tingkat pertama, Banding, Kasasi ataupun
Peninjauan Kembali (PK). Pengadilan semua tingkatan di Mahkamah Agung sangat
dilarang keras memberikan layanan Diskriminatif baik layanan internal/adminitsrasi
(naik pangkat, promosi/mutasi, pengajian dll) ataupun proses Perkara. Dalam pelayanan publik yang diskirminatif yang
mengusik rasa keadilan sebagimana kata Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai.
[3]
Jadi sangatlah
jelas perbuatan atau kebijakan diskriminatif sangat mengusik rasa keadilan. Banyak
faktor yang membuat praktik diskriminatif diantara nya faktor korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Faktor-faktor ini bisa menjadi penyebab perlakuan
pelayanan yang diskriminatif. Misalnya adanya suap atau gratifikasi atau
nepotisme, seseorang itu anak atau ponakan pejabat tinggi tertentu atau satu
golongan tertentu bisa di berikan layanan cepat dan diskriminatif dengan pengguna
layanan lainnya. Tentu perbuatan ini mengusik rasa keadilan dan bertentangan
dengan semangat reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN di Indonesia.
Semangat reformasi
birokrasi dan pemberantasan korupsi harus senantiasa ditegakkan menuju keadilan
sosial bagi seluruh bangsa Indonesia sebagaimana termaktum dalam Pancasila sila
ke-5, karena praktik diskriminatif sangat bertentangan dengan nilai-nilai hak
asasi manusia yakni dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan
pelayanan publik yakni Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
yang menguatkan bahwa setiap penyelenggara pelayanan publik wajib memberikan
pelayanan berkualitas bagi setiap pengguna layanan.[4]
Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI)
yang bertajuk “Survei Nasional Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Penegakan
Hukum Dan Persepsi Terhadap Kasus Kanjuruhan” yang dilaksanakan pada 6-10
Oktober 2022. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap TNI mencapai 88% diikuti
dengan kepercayaan terhadap presiden sebesar 80%. Adapun lembaga negara dengan
tingkat kepercayaan tertinggi berikutnya adalah Mahkamah Agung (MA), lalu
Mahkamah Konstitusi sebesar 62%, Pengadilan dan Kejaksaan Agung sebesar
60%.[5]
Dari data
diatas perlu kita pertahankan tingkat Kepercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum dan persepsi
terhadap kasus kanjuruhan khususnya Mahkamah Agung janganlah kepercayaan publik
ini kita rusak oleh oknum-oknum yang melakukan praktik-praktik diskrimintatif
dalam pelayanan apakah itu layanan eksternal ataupun layanan internal kepada
pegawainya sendiri.
Bagi Mahkamah Agung
kepercayaan publik merupakan salah satu target utama dalam Agenda Prioritas
Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2022-2024. Mahkamah Agung meyakini
bahwa kepercayaan publik yang kokoh hanya dapat dibangun di atas capaian
kinerja yang riil, serta penerapan nilai-nilai kelembagaan yang genuine dan
konsisten. Salah satu cara meraihnya yaitu dengan meningkatkan integritas
aparatur lembaga yang ada di dalamnya. [6]
Terlebih sejak tahun 2018 hingga tahun 2021 tercatat sebanyak
198 (seratus sembilan puluh delapan) satuan kerja yang telah mendapatkan
predikat WBK dan 14 (empat belas) satuan kerja yang telah mendapatkan predikat
WBBM dan atas capaian tersebut untuk kedua kalinya Ketua Mahkamah Agung
dianugerahi sebagai Pemimpin Perubahan Tahun 2020 dan tahun 2021 oleh
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.[7]
Sedangkan di tahun 2022 ada 5 satker di lingkungan Mahkamah Agung yang
berhasil meraih predikat WBK pada Tahun ini. Adapun kelima satker di Lingkungan
Mahkamah Agung yang berhasil meraih predikat WBK yakni : 1. Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara (Ditjen Badilmiltun),
2. Pengadilan Tinggi Agama Medan, 3. Pengadilan Tinggi Agama Kendari, 4.
Pengadilan Agama Unaaha, 5. Pengadilan Agama Mimika. Sementara itu satu Satker
dari Mahkamah Agung berhasil meraih predikat Wilayah Birokrasi Bersih dan
Melayani (WBBM) yaitu Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta.[8]
Begitu luar
biasa capaian yang telah di toreh Mahkamah Agung dalam memberantas Korupsi dan
reformasi birokrasi, oleh karena itu janganlah kita rusak dengan
perlakuan-perlakuan diskriminatif dalam pelayanan dan masyarakat berhak
melaporkan perlakuan diskriminatif dan KKN kepada Badan Pengawasan Mahkamah
Agung RI, Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga lainnya
dalam melakukan perbaikan pelayanan publik.
Dari tulisan
diatas dapat di simpulkan bahwa :
1. Praktik Diskriminatif
dalam pelayanan sangat berhubungan erat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), jika adanya praktik diskriminatif dapat di pastikan adanya praktik KKN
di dalamnya dan hal ini sangat bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi
di Indonesia serta mencederai rasa Keadilan.
2. Bagi Mahkamah Agung kepercayaan
publik merupakan salah satu target utama
dalam Agenda Prioritas Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2022-2024.
Penulis : Rovel
Rinaldi, SHI., MH. (Kasubbag Umum dan Keuangan, Pengadilan Agama Sengeti Kelas
IB), Pada, 23 Maret 2023/1 Ramadhan 1444 Hijriah di Kabupaten Muaro Jambi.
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi.