Kamis, 23 Maret 2023

Hubungan Diskriminasi Layanan Peradilan dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Semangat Reformasi Birokrasi

 


Membeda-bedakan dalam pemberian layanan merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dan tentu menyalahi peraturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Misalnya membedakan di karena perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) atau pun di lihat dari tingkat Pendidikan, kelas sosial, warna kulit, dan  miskin-kaya tentu hal ini bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

Sebagaimana pengertian diskriminasi yang di kutip dalam Wikipedia.org bahwa Diskriminasi (bahasa Inggrisdiscrimination) adalah suatu perbuatan, praktik atau kebijakan yang memperlakukan seseorang atau kelompok secara berbeda dan tidak adil atas dasar karakteristik dari seseorang atau kelompok itu.  Orang dapat didiskriminasi berdasarkan rasjenis kelaminusiaagama atau kepercayaanwarna kulitdisabilitasorientas.i seksual, serta kategori lainnya.[1]

Sedangkan di Indonesia sendiri, pengertian diskriminasi sudah dijelaskan dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan atau pengucilan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, status sosial, golongan, kelompok, jenis kelamin, keyakinan politik, status ekonomi, dan bahasa.[2] 

Dalam memberikan layanan khususnya peradilan apakah itu tingkat pertama, Banding, Kasasi ataupun Peninjauan Kembali (PK). Pengadilan semua tingkatan di Mahkamah Agung sangat dilarang keras memberikan layanan Diskriminatif baik layanan internal/adminitsrasi (naik pangkat, promosi/mutasi, pengajian dll) ataupun proses Perkara.  Dalam pelayanan publik yang diskirminatif yang mengusik rasa keadilan sebagimana kata Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai. [3]

Jadi sangatlah jelas perbuatan atau kebijakan  diskriminatif sangat mengusik rasa keadilan. Banyak faktor yang membuat praktik diskriminatif diantara nya faktor korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Faktor-faktor ini bisa menjadi penyebab perlakuan pelayanan yang diskriminatif. Misalnya adanya suap atau gratifikasi atau nepotisme, seseorang itu anak atau ponakan pejabat tinggi tertentu atau satu golongan tertentu bisa di berikan layanan cepat dan diskriminatif dengan pengguna layanan lainnya. Tentu perbuatan ini mengusik rasa keadilan dan bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN di Indonesia.

Semangat reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi harus senantiasa ditegakkan menuju keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia sebagaimana termaktum dalam Pancasila sila ke-5, karena praktik diskriminatif sangat bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia yakni dalam  Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang  Hak Asasi Manusia dan pelayanan publik yakni Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menguatkan bahwa setiap penyelenggara pelayanan publik wajib memberikan pelayanan berkualitas bagi setiap pengguna layanan.[4]

Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang bertajuk “Survei Nasional Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Penegakan Hukum Dan Persepsi Terhadap Kasus Kanjuruhan” yang dilaksanakan pada 6-10 Oktober 2022. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap TNI mencapai 88% diikuti dengan kepercayaan terhadap presiden sebesar 80%. Adapun lembaga negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi berikutnya adalah Mahkamah Agung (MA), lalu Mahkamah Konstitusi sebesar 62%, Pengadilan dan Kejaksaan Agung sebesar 60%.[5]


 

  


Dari data diatas perlu kita pertahankan tingkat Kepercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum dan persepsi terhadap kasus kanjuruhan khususnya Mahkamah Agung janganlah kepercayaan publik ini kita rusak oleh oknum-oknum yang melakukan praktik-praktik diskrimintatif dalam pelayanan apakah itu layanan eksternal ataupun layanan internal kepada pegawainya sendiri.

Bagi Mahkamah Agung kepercayaan publik merupakan salah satu target utama dalam Agenda Prioritas Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2022-2024. Mahkamah Agung meyakini bahwa kepercayaan publik yang kokoh hanya dapat dibangun di atas capaian kinerja yang riil, serta penerapan nilai-nilai kelembagaan yang genuine dan konsisten. Salah satu cara meraihnya yaitu dengan meningkatkan integritas aparatur lembaga yang ada di dalamnya. [6]

Terlebih sejak  tahun 2018 hingga tahun 2021 tercatat sebanyak 198 (seratus sembilan puluh delapan) satuan kerja yang telah mendapatkan predikat WBK dan 14 (empat belas) satuan kerja yang telah mendapatkan predikat WBBM dan atas capaian tersebut untuk kedua kalinya Ketua Mahkamah Agung dianugerahi sebagai Pemimpin Perubahan Tahun 2020 dan tahun 2021 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.[7]

Sedangkan di tahun 2022 ada 5 satker di lingkungan Mahkamah Agung yang berhasil meraih predikat WBK pada Tahun ini. Adapun kelima satker di Lingkungan Mahkamah Agung yang berhasil meraih predikat WBK yakni : 1. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara (Ditjen Badilmiltun), 2. Pengadilan Tinggi Agama Medan, 3. Pengadilan Tinggi Agama Kendari, 4. Pengadilan Agama Unaaha, 5. Pengadilan Agama Mimika. Sementara itu satu Satker dari Mahkamah Agung berhasil meraih predikat Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yaitu Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta.[8]

 

Begitu luar biasa capaian yang telah di toreh Mahkamah Agung dalam memberantas Korupsi dan reformasi birokrasi, oleh karena itu janganlah kita rusak dengan perlakuan-perlakuan diskriminatif dalam pelayanan dan masyarakat berhak melaporkan perlakuan diskriminatif dan KKN kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga lainnya dalam melakukan perbaikan pelayanan publik.

Dari tulisan diatas dapat di simpulkan bahwa :

1.      Praktik Diskriminatif dalam pelayanan sangat berhubungan erat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), jika adanya praktik diskriminatif dapat di pastikan adanya praktik KKN di dalamnya dan hal ini sangat bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi di Indonesia serta mencederai rasa Keadilan.

2.      Bagi Mahkamah Agung kepercayaan publik  merupakan salah satu target utama dalam Agenda Prioritas Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2022-2024.

 

Penulis : Rovel Rinaldi, SHI., MH. (Kasubbag Umum dan Keuangan, Pengadilan Agama Sengeti Kelas IB), Pada, 23 Maret 2023/1 Ramadhan 1444 Hijriah di Kabupaten Muaro Jambi.