Selasa, 20 Juni 2017

REFERENSI BUGIS DI LAMPUNG







  1. Bugis Menyerang Tulang Bawang : http://institut-lampungologi.blogspot.co.id/2009/05/perang-dengan-sang-gariha-tiyuh-memon.html 
  2. Benteng Sabut Perang dengan Bugis Panaragan : http://arkeologilampung.blogspot.co.id/2008/02/hubungan-fungsional-situs-benteng-sabut.html 
  3. Minak Sengaji Orang Bugis sumber : https://sadadakhmad.blogspot.co.id/2010/04/abung-siwo-mego-dan-pubian-telu-suku.html?showComment=1497490608154#c1018708864296910935 
  4. Kampung Bugis Menggala Sumber : http://sadadakhmad.blogspot.co.id/2010/08/hubungan-lampung-dengan-masyarakat-luar.html 
  5. Kampung Bugis di Menggala : http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/2016/11/04/tinggalan-sejarah-di-tulang-bawang/ 
  6. Bugis Menyerang Way Pengubuan : http://arkeologilampung.blogspot.co.id/2008/02/riwayat-singkat-negeri-katon-selagai.html 
  7. Sungkai Juga Kacau : Kecuali Damai dan Ubai akan meneruskan perjalanan ke daerah pedalaman Abung. Menurut kabar yang diterima di sana ada keributan perlu diamankan juga. Ketika mereka sampai di daerah Sungkai mereka bertemu dengan kepala-kepala kebuayan Sungkai yang menerangkan bahwa ada pertempuran di daerah Way Kanan sepanjang Way Pisang di Gilas. Pertempuran tersebut antara Abung Nunyai dengan kawan-kawannya menyerbu pihak Beliyuk dan Selagai. Lebih jelas mereka menunjuk Putih untuk berbicara langsung dengan Damai yang sengaja Putih mereka sembunyikan karena takut mendapat sasaran dari serangan Nunyai dan kawan-kawannya. Sumber : http://arkeologilampung.blogspot.co.id/2008/02/riwayat-singkat-negeri-katon-selagai.html 
  8. Adat Nambak : Meninggal dunia diadakan perayaan selawat. Sereno bumi. Nuwo dan Nambok orang tuanya yang sudah meninggal. Maka tiap-tiap penyimbang yang sudah diakui ia syah oleh kubuayan diharuskan tiap-tiap meliwati dari a s.d. tersebut di atas mengadakan perayaan potong kerbau, cangget gawi mengundang kebuayan-kebuayan yaitu namanya nemok dan diberi makan/minum serta diberi oleh-oleh. Setelah kembali ke tempat masing-masing membagi dau adat. Sumber : http://arkeologilampung.blogspot.co.id/2008/02/riwayat-singkat-negeri-katon-selagai.html 
  9. Bajau_bajau : Mulai pertengahan abad ke-19 M kompeni Belanda telah menduduki Telukbetung oleh sebab itu, Subing mengambil garis kebijaksanaan untuk meneramkan di daerah Abung/Seputih perlu mengadakan setiap kedua kompeni Belanda di Gunung Sugih untuk mengamankan seluruh perampokan-perampokan yang diadakan oleh bajau-bajau di sekitar daerah Abung/Seputih. Setelah keamanan terjamin maka penduduk membangun kembali baik moril maupun materiil begitupun adat dan aturan yang hampir hilang di masa bajau beroperasi. Sedang pengambilan adat asli belum pulih kembali masih terhalang oleh kompeni Belanda pada saat itu. Sumber : http://arkeologilampung.blogspot.co.id/2008/02/riwayat-singkat-negeri-katon-selagai.html 
  10. Perang Bajau : http://journal.isi.ac.id/index.php/joged/article/view/333 
  11. Bajau Perampok : Perpecahan diantara mereka merugikan kehidupan mereka sendiri, apalagi pada masa itu daerah pedalaman Lampung seringkali dimasuki Bajau (perampok) dari laut Jawa untuk melakukan perampasan hasil bumi seperti lada dan hasil hutan lainnya, baik dipeladangan maupun diperkampungan mereka. Sumber : http://greatlampung.blogspot.co.id/2012/10/persekutuan-hukum-adat-abung-dan.html 
  12. Kamus Bajau : http://rajaampau.blogspot.co.id/2014/07/bahasa-lampung.html 
  13. Minak seng aji suami bulan itu bugis : https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1076626172379026&id=335518323156485 
  14. Bajau di pesisir ; Maka ketika kampung Putih yang masih sepi ini diserang oleh bajak-bajak laut (bajau), sehingga ada sebahagian penduduk menghindari bajau ini dengan berpindah ke pedalaman lebih jauh dari pantai, maka jadilah kampung-kampung Tanjungbetuah, Banjakhmanis, dan lain-lain. Berkali-berkali bajak laut itu menyerang dan merampas harta-harta penduduk di sepanjang pantai-pantai yang masih berpenduduk sepi itu.Bajak-bajak itu diperkirakan bersamaan dengan datangnya Belanda ke Indonesia sekitar tahun 1682, karena pada watu itu banyak perampok (perompak) sebagai bajak laut atau lanum yaitu anak buah Sultan Iskandar, tapi dihancurkan oleh Belanda Tahun 1704. Mungkin juga adalah suku Raas yakni pelaut-pelaut dari kepulauan Mentawai, atau suku Bugis dari Sulawesi.Karena serangan-serangan bajak laut yang berkali-kali itu maka 4 saudara yang masih tinggal di Putih bersepakat untuk memanggil Dalom Pamotokh Jagat atau Lanang Akuan yang berada di Kalianda untuk kembali ke Putih guna mempertahankan serangan dari para bajau itu.Mereka juga sepakat untuk mengangkat Dalom Pamotokh Jagad atau Lanang Akuan untuk menjadi pimpinan adat (Kepala Adat) di Kebandakhan Putih. Dia setelah dibujuk, datang ke Putih dengan membawa pedang terhunus sedang sarung pedang itu masih ditinggal di Kalianda. Hal ini konon, yang membuktikan adanya persamaan sejarah antara keturunan Pamotokh Jagad di Kalianda dan di Putih. Sumber : http://muallakkhia.blogspot.co.id/2013/03/cukuh-balak-adat-saibatin-lampung.html



Kamis, 08 Juni 2017

SEJARAH TULANG BAWANG

Logo Kabupaten Tulang Bawang Provinisi Lampung

Seorang Biksu Budha dari Negeri Cina yang bernama I Tsing pernah Melakukan Perjalanan ke Pedalaman Sumatera pada abad ke-7 Masehi. Dalam catatannya, I Tsing menyebutkan bahwa ia pernah singgah di suatu tempat yang dinamakan To-Lang P’o-Hwang. Nama ini sering diasumsikan sebagai Kerajaan Tulang Bawang. Kini daerah tersebut menjadi sebuah Kabupaten di Provinsi Lampung yang saat ini beribukota di Menggala.
Selain I Tsing, Tome Pires, seorang penjelajah samudera terkemuka asal Portugis pernah pula menyebutkan Tentang Kerajaan Tulang Bawang dalam Catatannya Suma Oriental (1512 – 1515) . Ia menyebutkan bahwa Kerajaan Sunda pernah melakukan hubungan perdagangan lada dengan Kerajaan Tulang Bawang.
Tome Pires
Tome Pires

Sesungguhnya belum ditemukan bukti sejarah yang secara lengkap menerangkan eksistensi Kerajaan Tulang Bawang. Sejarawan, antropolog maupun arkeolog, bahkan pemerintah Provinsi Lampung pun, masih berusaha keras untuk menemukan kembali rangkaian sejarah yang ‘hilang’ tersebut.
Bukti sejarah Kerajaan Tulang Bawang masih begitu samar. Sedikit jejaknya ditemukan dalam catatan I Tsing yang di dalamnya juga menyebutkan Che-Li-P’o Chie atau Sriwijaya. Kemungkinan, Tulang Bawang dahulu memiliki ciri kehidupan seperti Sriwijaya yang terfokus pada potensi sungai. Hingga kini, ibukota Kabupaten Tulang Bawang, yaitu Menggala lokasinya berdekatan dengan Way atau sungai Tulang Bawang dan rawa-rawa di sekitarnya.
Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Kota Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.
JW. Harding
JW Harding

Meski bukti sejarah tentang eksistensi Kerajaan Tulang Bawang masih begitu samar, Kota Menggala sebagai Kota penting di Kabupaten Tulang Bawang memiliki kisah dan peninggalan sejarah tersendiri, khususnya di masa Islam dan masa Hindia Belanda.
Kota Menggala saat ini sejatinya hanya sebuah kota kecil yang tidak terlampau ramai, jauh dari pusat kota sekitar 5 sampai 6 jam perjalanan dari Bandar Lampung. Dahulu, sebelum bernama Menggala, kota ini dikenal dengan sebutan Rantau Tijang.
Kota Menggala merupakan satu-satunya kota yang berada di Tepian Way Tulang Bawang. Posisi ini menjadi salah satu jejak sejarah Kota Menggala. Serpihan-serpihan sejarah Tulang Bawang dan Menggala sedikitnya bisa ditengok dari Legenda yang dipercaya oleh masyarakat di Menggala. Orang-orang Menggala percaya bahwa konon sejak dahulu daerahnya sudah menjadi Bandar dagang yang disinggahi para pedagang dari Banten, Gujarat, dan bahkan Cina.
Hal ini terkait pula dengan Legenda yang dikenal masyarakat Menggala, yaitu kisah Kapal Cina dan Pulau Daging. Alkisah dahulu pernah datang armada kapal Cina yang ingin memonopoli perdagangan di Ranjau Tijang atau daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Menggala. Untuk menangkal usaha para armada Cina tersebut, datanglah 2 bangsawan Tulang Bawang, Menak Sengaji dan Menak Ngegulung Sakti bersama pasukannya untuk menumpas armada Cina tersebut. Peperangan pun terjadi, pasukan China terkepung di rawa – rawa sedangkan pasukan Tulangbawang menyerang mereka dari tebing yang tinggi dengan anak panah dan tombak. Akhirnya Kapal tersebut dapat di tenggelamkan dan orang-orang China yang terbunuh kemudian mayatnya di kumpulkan disuatu pulau. Sekarang dikenal dengan rawa Kapal China dan Pulau Daging.
Legenda tersebut menyiratkan betapa pentingnya Kota Menggala. Faktanya saat ini, Menggala merupakan daerah yang paling dekat dengan Sungai Tulang Bawang sebagai sungai terbesar di Lampung. Hingga kini masyarakat Menggala masih mempercayai kebesaran Minak Sengaji dan Minak Ngegulung Sakti, bahkan Makam kedua tokoh tersebut masih ada di Menggala dan dikeramatkan hingga saat ini. Orang-orang Menggala juga meyakini bahwa Menak Sengaji dan Menak Ngegulung Sakti adalah nenek moyang orang-orang Menggala.
makam-minak-ngegulung-sakti
Makam Minak Ngegulung Sakti

makam-minak-sangaji
makam Minak Sengaji

Apakah bisa dikatakan bahwa nenek moyang orang-orang Menggala itu dari Menak Sengaji dan Menak Ngegulung ? Apakah Menak Sengaji dan Menak Ngegulung memiliki hubungan persaudaraan?
Selain mengacu pada Legenda, peninggalan sejarah di Menggala saat ini masih menyiratkan pentingnya keberadaan sungai. Salah satunya melalui Bandar kecil di tepi Sungai Tulang Bawang yang dikenal sebagai Tanggo Rajo. Pada abad ke-16, Tanggo Rajo menjadi lokasi vital manakala Kesultanan Banten dibawah kepemimpinan Hasanudin menjalin hubungan dagang dengan Tulang Bawang. Pada masa itu, perdagangan lada dilakukan di Tanggo Rajo.
Lada menjadi daya tarik yang begitu kuat, hingga pada 1668 VOC menancapkan kekuasaannya di Menggala. Pada masa VOC, tepatnya pada tahun 1668 di bangun dibangun sebuah Benteng VOC Menggala. Sayang, jejaknya sudah tidak bisa ditemukan lagi saat ini. Pada masa VOC pula Menggala tumbuh menjadi kota dagang yang sangat ramai. Hingga masa Hindia-Belanda atau sekitar abad ke- 19, perdagangan lada dan Tanggo Rajo menjadi salah satu faktor kuat yang memicu perkembangan Kota Menggala, Bahkan Belanda pernah membangun maskapai pelayaran di Menggala. Kota ini menjadi bandar penting yang menghubungkan Lampung dengan Jawa dan Singapura. Kini, bangunan Tanggo Rajo yang merupakan kontruksi ulang pada masa Gubernur Sjachroedin di tahun 2010 ini, hanya digunakan untuk acara-acara adat atau kegiatan pemda Tulang Bawang.
Mesjid Kibang
Mesjid Kibang
Faktor perdagangan yang membuat Kota Menggala menerima beragam jenis kebudayaan. Selain merasakan kekuasaan VOC, Kota Menggala pun menerima pengaruh agama Islam. Jejak nyata pengaruh Islam di Kota Menggala dapat terlihat dari keberadaan Masjid Agung Kibang. Masjid ini didaulat oleh pemerintah Lampung sebagai mesjid tertua di Lampung. Pada awal abad ke-18 sebetulnya sudah dibangun sebuah masjid di Menggala atas prakarsa 5 pangeran di Tulang Bawang, namun ketika Belanda berkuasa mesjid tersebut harus dirubuhkan karena karena kepentingan pembangunan kota. Masjid Kibang yang saat ini berdiri merupakan hasil pemindahan dari mesjid yang dahulu pernah didirikan. Masjid Agung Kibang diresmikan tahun 1830 dengan Marbot pertama H.M. Thahir Banten. Menara Masjid Agung Kibang dibangun tahun 1913 M (1332 H) dan dipugar tahun 1938 (1357 H) dengan ketua pembangunan masjid Pangeran Warganegara V. Setelah kemerdekaan, masjid ini sudah beberapa kali mengalami renovasi.
Rumah kediaman Pangeran Wangsakerta
Rumah kediaman Pangeran Wangsakerta
Tidak jauh dari lokasi Masjid Agung Kibang, terdapat rumah kediaman Pangeran Warganegara yang masih mempertahankan arsitektur lama. Rumah ini dibangun oleh Pangeran Warganegara ke-4 bergelar Sutan Ngukup pada 1879. Pangeran Warganegara adalah salah seorang Bangsawan di Menggala dari Marga Buay Bulan, ia lahir pada 1852 dan meninggal pada 1927. Pangeran Warganegara merupakan keturunan dari Krio Warganegara atau Menak Kesuhur. Rumah Pangeran Warganegara ini dilengkapi dengan segala macam interior dan perabotan yang mengandung sejarah. Rumah ini dibangun dengan kayu tembusu dilengkapi furniture kayu khas abad ke-18 dan 19.
pasar-lamaTidak jauh dari rumah kediaman Pangeran Warganegara, tepatnya 1 km ke arah utara, terdapat Kampung Bugis dan pasar lama yang dahulunya merupakan Kampung Palembang. Pasar lama ini, dahulu merupakan satu-satunya pasar di daerah Menggala. Salah satu bangunannya sudah berdiri sejak tahun 1819. Bentuk rumah di pasar ini sebagian besar terdiri dari dua lantai, lantai atas untuk tempat tinggal sedangkan lantai bawah untuk toko.
dermaga-menggala-merak-2 dermaga-menggala-merak-1Jejak atau bukti tersirat bahwa Menggala dulu disinggahi pedagang dari beragam daerah dapat dilihat dari keberadaan Kampung Bugis dan Dermaga. Bangunan dermaga merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal. Bentuk dermaga ini berupa ponton dengan konstruksi besi. Bangunan Dermaga ditetapkan oleh Pemda Tulang Bawang sebagai salah satu Cagar Budaya kategori A, yaitu bangunan yang mempunyai nilai sejarah, arsitektur, sosial budaya dan ilmu pengetahuan. Keberadaan dermaga juga menyiratkan kondisi sejarah Menggala sejak masa VOC dan Hindia Belanda, di mana di Menggala banyak kapal-kapal dagang yang singgah untuk berjual beli komoditas lada.
Kampung Bugis
Kampung Bugis
Tidak jauh dari dermaga, terdapat sebuah perkampungan. Konon perkampungan ini dulunya didirikan dan dihuni oleh orang-orang Bugis. Letak rumah-rumah di perkampungan ini sangat dekat dengan sungai, bahkan banyak di antaranya dibangun di atas rawa. Sangat mungkin, dahulu ketika perdagangan di sekitar sungai masih ramai, orang-orang Bugis sengaja menetap di tempat ini. kini, penghuni di kampung ini sudah beragam, bukan hanya orang Bugis
Faktor pesatnya perdagangan lada, karet, kopi, dan hasil hutan, mendorong perkembangan kota. Pada masa kekuasaan Hindia Belanda, tepatnya pada tahun 1857 kota Menggala dijadikan ibukota Lampung bagian tengah yang dikepalai oleh Asisten Residen. Sejalan dengan itu pula fasilitas kota dibangun. Hingga saat ini sebagian kecil bangunan peninggalan Belanda itu masih bisa ditemukan. Jejak peninggalan Belanda di Menggala, setidaknya dapat diketahui dari keberadaan empat bangunan. Dari keempat bangunan tersebut, ada yang difungsikan kembali, ada pula yang sama sekali tak digunakan lagi.
Kantor Polisi Menggala adalah salah satu cagar budaya yang tidak difungsikan lagi. Berlokasi tepat di samping alun-alun kota Menggala, di mana berbagai aktivitas masyarakat biasa dilangsungkan.
Selain Kantor Polisi, peninggalan Belanda yang masih utuh adalah Kantor Pos dan Giro, Gedung Perwatin, dan Gedung HIS atau Hollandsch-Inlandsche School.
Kantor Pos hingga kini masih dipergunakan sebagai kantor pos. Arsitektur lama terlihat dari atap serta jendela-jendelanya. Bangunan ini masih mempertahankan ornament besi khas eropa.
Demikian halnya dengan Gedung Perwatin. Gedung ini masih menampakkan kesan kunonya dari bentuk dinding kayu serta atapnya yang tinggi. Gedung Perwatin sudah mengalami renovasi, saat ini gedung Perwatin biasa digunakan untuk berbagai kegiatan warga masyarakat, seperti latihan kesenian atau rapat-rapat adat.
Bangunan terakhir yang masih mempertahankan bangunan Belanda adalah Gedung HIS atau Hollandsch-Inlandsche School. Saat ini difungsikan sebagai Sekolah Dasar. Ciri bangunan Eropa terlihat dari besar dan luasnya bangunan. Selain itu, pintu di gedung ini menggunakan pintu yang besar serta atapnya yang tinggi, nampak berbeda dengan kebanyakan bangunan sekolah di masa kini
Bangunan peninggalan Belanda seperti Kantor Polisi, Gedung Pos dan Giro, Gedung Perwatin, dan Gedung HIS, semuanya telah ditetapkan oleh Bupati Tulang Bawang sebagai Cagar Budaya sesuai dengan Perpu No 21 tahun 2014.
Tahun 1873 Lampung dibagi kedalam enam Onder Afdeeling (Kawedanaan), Menggala menjadi salah satu diantaranya. Kedudukan Asisten Residen dipindahkan ke Teluk Betung. Surutnya Menggala dipicu oleh perkembangan teknologi transportasi berupa kereta api. Pada sekitar tahun 1920 telah dibuka jalur kereta api antara Tanjung Karang – Palembang. Keadaan ini menjadikan urat nadi transportasi pindah dari transportasi sungai ke transportasi darat. Akibatnya Menggala menjadi kota yang terpencil dan akhirnya mengalami stagnasi. Hingga kini Sungai Tulang Bawang belum mampu menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Menggala. Sungai Tulang Bawang kini hanya jadi saksi bisu kejayaan masa lampau.
Sumber: Hary Ganjar Budiman, dkk. Tinggalan Sejarah di Tulang Bawang, Laporan Perekaman Kebudayaan dan Kesejarahan, Bandung: BPNB Jabar, 2016.

PETA TUBABAR DAN TUBA RUTE PERJALANAN SUNGAI



ARKEOLOG DI TULANG BAWANG



POTENSI ARKEOLOGI DI KABUPATEN TULANGBAWANG

Oleh
Nanang Saptono


Disampaikan pada:
EKSPOSE HASIL PENELITIAN ARKEOLOGI TULANGBAWANG
Menggala, Tulang Bawang, 15 November 2006



PENDAHULUAN
Sejarah Tulangbawang pada masa-masa awal agak gelap, karena data dan fakta yang ada sangat sedikit. Kajian oleh para sejarawan juga belum banyak dilaksanakan. Sumber sejarah masa awal Tulangbawang hanya berupa berita asing. Di dalam kitab sejarah dinasti Liang terdapat keterangan bahwa antara tahun 430 – 475 datang di Cina beberapa kali utusan dari To-lang P’o-hwang. Menurut G. Ferrand lafal To-lang P’o-hwang dalam dialek Cina dapat disamakan dengan Tulangbawang. Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa To-lang P’o-hwang yang disebut dalam sejarah dinasti Liang, merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran sungai Tulangbawang, Lampung. Kerajaan ini pada suatu saat ditaklukkan oleh kerajaan lain. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa berita Cina hanya sekali saja menyebut kerajaan ini (Sumadio, 1990: 79).

Kawasan Tulangbawang juga pernah disinggung sumber Portugis. Catatan Tomé Pires (1512 – 1515) menyebutkan bahwa di Jawa Barat pernah berdiri suatu kerajaan yang disebut regño de Çumda atau kerajaan Sunda. Kerajaan ini mempunyai beberapa pelabuhan dagang di sepanjang pantai utara. Hubungan dagang kerajaan Sunda tidak hanya bersifat lokal tetapi sampai tingkat regional bahkan internasional. Beberapa barang dagangan dari Tulangbawang seperti lada masuk ke Jawa melalui pelabuhan Cheguide. Selain dari Tulangbawang pelabuhan ini juga menampung barang dagangan dari Pariaman, Andalas, Sekampung, dan tempat-tempat lainnya (Cortesão, 1967: 171). Kerajaan Sunda yang berlatarkan pada agama Hindu-Buddha, akhirnya mengalami kemunduran dan digantikan Banten yang berdasarkan pada agama Islam. Pada periode ini Tulangbawang tidak begitu jelas kedudukannya, apakah merupakan “kerajaan” yang berdiri sendiri atau berada di bawah kekuasaan kerajaan lain (Majapahit, Sriwijaya, Melayu). Hubungannya dengan kerajaan Sunda hanya sebatas pada hubungan dagang.

Pada masa yang lebih kemudian terjadi hubungan antara Banten dan Lampung. Data demikian terdapat dalam naskah Sajarah Banten. Dalam naskah tersebut diceritakan bahwa Sultan Hasanuddin pernah mengadakan perjalanan ke Lampung, Indrapura, Solebar, dan Bengkulu. Sajarah Banten juga menceritakan bahwa Raja atau Ratu Balau yang merupakan salah satu kepala di Lampung dengan sukarela masuk Islam. Suatu ketika turut serta membantu Banten dalam menyerang Pakuan.

Ketika Banten diperintah oleh Sultan Hasanuddin, wilayah kekuasaannya hingga Lampung dan daerah Sumatra Selatan. Wilayah kekuasaan di Sumatra ini banyak menghasilkan lada (merica) yang sangat berperan dalam perdagangan di Banten, sehingga membuat Banten menjadi kota pelabuhan penting yang disinggahi kapal-kapal dagang dari Cina, India, bahkan Eropa. Keadaan seperti ini berlangsung dari pertengahan abad ke-16 hingga akhir abad ke-18 (Graaf dan Pigeaud, 1985: 151-156).

Hubungan Banten dengan Lampung juga diceritakan oleh tradisi orang-orang Abung. Minak Paduka dan Minak Kemala Bumi pernah datang di Banten (siba) untuk minta bantuan Sultan Hasanuddin dengan mempersembahkan pengakuan kekuasaan tertinggi atas Tulangbawang. Pada waktu itu selain Tulangbawang masih terdapat kerajaan kecil lainnya yaitu Balau. Pada masa kemudian daerah Balau dapat disatukan dengan Tulangbawang melalui perkawinan antara Minak Kemala Bumi dengan putri raja Balau. Oleh Sultan Hasanuddin, Minak Paduka kemudian diberi gelar Patih Jarumbang dan Minak Kemala Bumi diberi gelar Patih Prajurit. Kedua tokoh ini kemudian masuk Islam dan selanjutnya melaksanakan islamisasi di daerah Lampung (Djajadiningrat, 1983). Kawasan Lampung ketika itu belum mendapat pengaruh ajaran Islam secara intensif. Penyebaran Islam secara intensif sejak ada hubungan dengan Banten.

Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di Tulangbawang sejak tahun 1998 hingga 2005. Penelitian ditekankan pada aspek permukiman kuna. Hal ini dilandasi oleh rekomendasi hasil penelitian di situs Batu Berak, Desa Purajaya/Purawiwitan, Sumberjaya, Lampung Barat. Sebelumnya, penelitian di Lampung difokuskan pada aspek religi masa prasejarah yang berkaitan dengan tradisi megalitik. Penelitian di situs Batu Berak menemukan jejak-jejak indikator permukiman yang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Pelacakan dilakukan dengan menyusuri Way Besai yang berhulu di kawasan situs Batu Berak tersebut. Pelacakan pertama dilakukan di Blambangan Umpu. Selanjutnya berdasarkan pertimbangan latar belakang sejarah, dilakukan eksplorasi di Tulangbawang.

Penelitian eksploratif di Tulangbawang telah berhasil mendata sejumlah situs pemukiman. Secara kewilayahan situs-situs tersebut dibagi dalam empat kawasan yaitu kawasan Way Kiri, kawasan Way Kanan, kawasan Way Tulangbawang, dan kawasan pedalaman. Selain itu juga telah dideskripsi beberapa benda-benda kuna yang tersimpan pada masyarakat.


SITUS-SITUS DI KAWASAN WAY KIRI

1. Situs Bumi Agung
Situs Bumi Agung berada di sebelah tenggara Way Kiri, berada pada posisi 4°35’46” LS dan 104°58’40” BT. Di sebelah timur situs mengalir Way Tujo yang merupakan anak sungai Way Kiri. Di sebelah tenggara situs terdapat Rawa (bawang) Sepulau. Bekas pemukiman dibatasi dengan benteng tanah. Bangunan benteng berupa dua lajur gundukan tanah yang pada bagian tengahnya terdapat cekungan semacam parit. Secara umum gundukan tanah tersebut berdenah seperti huruf “U”. Tinggi gundukan yang terlihat sekarang bervariasi antara 0,5 – 1 m. Pada sisi selatan, gundukan tanah membujur dari tepi Way Kiri di sebelah timur ke arah timur kemudian membelok secara melengkung ke arah utara kemudian ke barat. Dengan demikian pada sisi timur gundukan tanah tersebut arahnya melengkung. Benteng sisi utara pada bagian selatan melengkung yang merupakan kelanjutan benteng sisi timur, kemudian lurus membujur ke barat dan berakhir di tepi Way Kiri.

Di tepi dalam benteng sisi utara sebelah barat terdapat batu alam berwarna kemerahan. Menurut cerita rakyat batu tersebut merupakan tempat Minak Paduka (Abung Nunyai) dipenggal kepalanya oleh Setrupak Sumbai. Minak Paduka kemudian dimakamkan di Bumi Agung di sebelah selatan luar benteng.

Di sebelah timur laut makam Minak Paduka atau di sebelah timur benteng terdapat makam Ratu Tulangbawang dan Umpuan Ratu Ali. Makam Ratu Tulangbawang sudah sulit dikenali. Masyarakat menandai makam tersebut dengan pohon beringin yang sekarang sudah besar. Dengan adanya pohon itu bentuk makam sudah tidak terlihat lagi. Di sebelah utara makam Minak Paduka terdapat makam Umpuan Ratu Ali. Keadaan makam ditandai dengan kumpulan batu-batu andesitik. Keturunan Umpuan Ratu Ali sekarang merupakan penduduk Way Kanan.


2. Kampung Way Sidou
Di Kampung Way Sidou terdapat situs Keramat Strupak Sumbay. Lokasi situs berada di sebelah barat Way Pengajaran, dekat pertemuan antara Way Sidou dan Way Pengajaran, yang merupakan anak Way Kiri. Situs ini berada pada posisi 04°38’10,2” LS dan 105°01’04,8” BT. Sekitar 100 m sebelah timur laut situs terdapat bagian sungai yang disebut Olok Napal. Kondisi situs berpagar permanen. Pintu masuk berada di sisi selatan sebelah timur. Makam Strupak Sumbai dipercaya berada di bawah pohon laban. Keadaan makam sama sekali tidak ada tanda. Tanah dalam keadaan datar tidak dilengkapi nisan, jirat, atau tatanan batu.

3. Situs Karta Talang
Situs Karta Talang terletak di sebelah barat daya pemukiman sekarang berjarak sekitar 1 km. Situs berada di sebelah selatan sungai, pada posisi 4°33’32” LS dan 105°00’34” BT . Pada situs tersebut terdapat fetur benteng tanah. Benteng yang masih tersisa membujur dari arah barat laut ke tenggara, kemudian membelok ke arah timur laut. Ujung bagian barat laut benteng tersebut berada di tepi Way Kiri. Keadaan benteng berupa dua lajur gundukan tanah yang di tengahnya terdapat parit. Gundukan tanah yang tersisa tidak begitu tinggi. Parit yang terdapat di tengah pada bagian atas lebarnya sekitar 8 m sedangkan bagian dasar lebarnya sekitar 3 m. Kedalaman parit sekitar 3 m.

Sebelah barat daya benteng berjarak sekitar 200 m terdapat komplek makam kuna. Makam yang ada kebanyakan tidak dilengkapi jirat dan nisan, tetapi hanya berupa tanah mendatar. Tokoh yang dimakaman adalah Minak Sutan, Sang Adam, Pecalang Dalem, dan Makam Tuan Alim. Makam-makam tersebut terdapat dalam beberapa petak yang dibatasi dengan pagar tembok.

Penelitian di Karta selain observasi di situs Karta Talang, juga telah dilakukan pendataan benda arkeologis milik keluarga Ratu Pengadilan yang tersimpan di rumah keluarga (Nuou Tuha) Bapak Nur Hasan gelar Sutan Marga Buay Bulan. Benda-benda tersebut berupa bejana kuningan, dua buah guci, beberapa buli-buli, fragmen keramik, dan gong. Bejana dari kuningan pada saat sekarang dipakai pada upacara minta hujan, dengan cara diberi sedekah kemudian diturunkan ke sungai.

4. Gunungkatun Tanjungan dan Gunungkatun Malay

Kenali
Kenali adalah fetur parit memanjang yang menghubungkan dua aliaran sungai. Kenali tersebut berada pada kelokan sungai yang membentuk suatu daratan memanjang yang dinamakan Bujung Malay. Keadaan parit membentang arah utara – selatan (N 323° E) menghubungkan kedua sisi sungai.

Jurang Putinggelang
Jurang Putinggelang adalah suatu lebung yang terdapat di sebelah timur laut perkampungan berjarak sekitar 2 km. Keletakan pada koordinat 04°31’39” LS dan 105°01’41,5” BT. Lebung ini memanjang arah utara selatan. Pada ujung selatan terdapat bagian paling dalam yang disebut jurang putinggelang. Air yang mengisi lebung ini adalah limpahan banjir dari Way Nurik.

Keramat Munggu
Di sebelah selatan perkampungan Gunungkatun berjarak sekitar 2 km, pada seberang barat Way Kiri terdapat komplek makam yang disebut Keramat Munggu. Lokasi ini berada pada koordinat 04°31’44,1” LS dan 105°00’55,7” BT. Menurut keterangan Bapak Ikrom Glr. Sutan Junjungan, juru kunci dan pemilik lahan, tokoh yang dimakamkan adalah Minak Muttah Dibumi dan Prajurit Puting Gelang serta Minak Kemala Adam.

Benteng Sabut
Benteng Sabut secara geografis berada pada kelokan sungai Way Kiri pada posisi 4°30’20” LS dan 105°00’21” BT. Way Kiri mengalir di sebelah tenggara hingga timur situs. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Sungai ini kemudian berkelok-kelok ke arah tenggara hingga timur dan bermuara di Way Kiri di sebelah selatan Benteng Sabut. Di sebelah selatan muara Way Pikuk terdapat muara Way Papan. Sungai ini mengalir dari arah barat daya. Di sekitar Benteng Sabut terdapat beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng. Lokasi Benteng Sabut oleh masyarakat setempat juga dikenal dengan sebutan Bujung Menggalou.

Fakta arkeologis yang terdapat di situs Benteng Sabut berupa fetur parit (cekungan), benteng dan tanggul (gundukan tanah), makam kuna, serta sebaran artefak. Parit pada bagian dekat Way Kiri berpola segi lima. Pada sisi dalam parit terdapat benteng. Benteng dan parit ini pada sisi barat bermula dari tepi Way Kiri ke arah barat laut sepanjang 110 m hingga sudut barat daya. Benteng dan parit kemudian belok ke arah utara agak ke timur hingga sepanjang 70 m yang merupakan pertengahan sisi barat laut benteng dan parit, selanjutnya agak berbelok ke arah timur hingga mencapai jarak 70 m yang juga merupakan sudut timur laut. Pada sudut ini parit ada yang ke arah barat laut sepanjang 20 m hingga ke Bawang Petahi, dan juga ada yang ke arah tenggara sejauh 110 m hingga Way Kiri. Lahan bagian ini merupakan inti pemukiman yang luasnya sekitar 1,4 hektar.

Di sebelah barat laut bagian inti pemukiman berjarak sekitar 50 m terdapat parit membentang arah timur laut – barat daya. Pada Ujung timur laut bermula dari Bawang Petahi ke arah barat daya sejauh 150 m. Parit ini pada ujung barat daya lebarnya 12 m, sedangkan pada ujung timur laut lebarnya 7 m. Kedalam berkisar 1 – 1,5 m. Di ujung barat daya parit belok ke arah tenggara sepanjang 55 m dan selanjutnya tidak tampak lagi jejak-jejaknya. Parit yang membentang arah timur laut – barat daya kemudian belok ke arah tenggara ini membentuk lahan berpola segi empat dengan luas sekitar 0,7 hektar. Di tengah lahan ini terdapat fetur tumulus berdiameter sekitar 3 m tinggi 0,7 m. Di tempat ini pada sekitar tahun 1980 Bapak Raja Sembilan menemukan guci.

Di sebelah barat daya benteng, pada seberang Way Pikuk terdapat dua fitur tanggul. Fitur tanggul pertama terdapat di sebelah barat daya parit luar sisi barat laut. Dari ujung Way Pikuk tanggul tersebut membujur ke arah barat sepanjang 20 m kemudian belok ke arah barat daya hingga selatan sepanjang 30 m. Lebar tanggul sekitar 4 m dengan ketinggian sekitar 0,5 m. Tanggul kedua terletak di sebelah barat daya lahan benteng. Tanggul tersebut membujur arah timur laut – tenggara sepanjang 30 m. Lebar tanggul 8 m dengan ketinggian 1,5 – 2 m.

Pada bagian luar sudut tenggara benteng, di tepi Way Kiri terdapat fitur makam kuna. Menurut keterangan masyarakat tokoh yang dimakamkan adalah Minak Sendang Belawan. Keadaan makam sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar tetapi tidak menggunduk, tidak dilengkapi nisan. Orientasi makam relatif ke arah utara – selatan (N 350° E). Lebar makam 2,16 m dan panjangnya 3,8 m.

Umbul Petai
Di sebelah timur Benteng Sabut berjarak sekitar 1 km pada tepi sebelah utara Way Kiri terdapat situs Umbul Petai. Situs ini berada pada posisi 04°30’18” LS dan 105°00’36” BT. Dalam cerita sejarah, lokasi ini berkaitan dengan orang Bugis yang menyerang Benteng Sabut namun dapat dikalahkan oleh Minak Kemala Kota dan kerabatnya. Keadaan lahan situs relatif datar, bila dibandingkan dengan lahan sekitarnya agak lebih tinggi. Di lokasi ini tidak dijumpai adanya fitur parit atau benteng. Fakta arkeologis yang ditemukan berupa fragmen keramik dan kaca.

Pepuk Malay
Pepuk Malay merupakan kawasan pedataran yang merupakan padang rumput. Lokasi ini berada di sebelah barat laut pemukiman. Fungsi utama untuk ladang penggembalaan ternak, acara adat, serta kegiatan lain yang bersifat umum (public space area). Pengamatan pada permukaan lahan ditemukan frgamen mangkuk keramik Cina, Swatow dari masa dinasti Ming dan fragmen mangkuk keramik Eropa. Di lokasi ini terdapat fetur parit (siring) yang lebarnya sekitar 4 m dengan kedalaman sekitar 1 m. Fetur ini membentang dari Pepuk Malay hingga Way Kiri.

Umbul Silapanggung
Menurut penuturan Bapak Lian bin Wahab (Suku Belitung, Kampung Gunungkatun Tanjungan), tokoh yang membuka Umbulan Silapanggung adalah Minak Cekai Dilangit. Menurut kajian Assaih Akip (1976: 16) Minak Cekai Dilangit adalah panglima pribadi Tuan Rio Mangkubumi. Ketika meninggal dunia, Minak Cekai Dilangit dimakamkan di Olok Belitung, sebelah udik Kampung Penumangan atau sebelah hilir Kampung Menggalamas. Tokoh inilah yang selanjutnya menurunkan Suku Belitung.

Umbulan Silapanggung terletak di sebelah tenggara pemukiman, pada tepian Way Nurik. Informasi dari Ibu Khasanah (Suku II Kampung Gunungkatun Tanjungan), isteri almarhum Bapak Kepala Mega, pada sekitar tahun 1964 Bapak Kepala Mega menemukan sendok keramik di Poros, daerah Umbul Silapanggung. Sampai sekarang sendok tersebut disimpan Ibu Khasanah. Sendok tersebut berwarna dasar putih dengan hiasan motif flora berwarna hijau lumut. Sendok ini berasal dari Guangdong, Cina masa dinasti Qing.


Beberapa Benda Arkeologis
Di Kampung Gunungkatun Tanjungan terdapat batu bergores yang berada di bawah pohon jambu pada pekarangan rumah Bapak Ibrahim bin Pukuk, depan balai desa, atau pada koordinat 04°30’48,4” LS dan 105°01’12,5” BT. Masyarakat tidak mengetahui latar belakang batu bergores ini hanya menyebutnya dengan istilah batu aceh.

Bahan dari batu pasir abu-abu kecoklatan padu. Bentuk tidak beraturan berukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 29 cm. Penampang atas memanjang, sedangkan samping mendekati empat persegi panjang. Goresan terdapat pada penampang atas yang terdiri dua kelompok. Pada salah satu ujung goresan berjumlah empat memanjang, sedangkan pada ujung yang lain goresan berjumlah lima juga memanjang. Kedalaman goresan berkisar 1 cm dengan lebar berkisar 1,5 cm.

Di Kampung Gunungkatun Malay terdapat batu datar berlubang mirip batu dakon tetapi lubangnya hanya satu. Batu ini sekarang disimpan di kolong rumah Bapak Lukman Hakim Glr. Raja Ulung. Jenis batuan berupa batu pasir abu-abu kecoklatan padu. Menurut keterangan batu tersebut dahulu terdapat di depan sesat Gunungkatun Malay. Pada kedua ujung agak menyempit, bagian tengah melebar. Ukuran batu panjang 50 cm tebal 11 cm. Ujung yang sempit lebar 15 cm, sedangkan ujung yang lain lebarnya 20 cm. Lebar bagian tengah antara 25 cm - 28 cm. Lubang berjumlah satu berdiameter 7 cm kedalaman 2 cm.

Penelitian juga mendata sejumlah benda cagar budaya (BCB) bergerak milik masyarakat kampung Gunungkatun Tanjungan dan Gunungkatun Malay. Bapak Raja Sembilan sekitar tahun 1980 menemukan guci di Benteng Sabut, sampai sekarang guci tersebut masih tersimpan di rumahnya. Keadaan guci sudah pecah namun masih lengkap. Guci berglasir dengan warna kehijauan, pada punggungnya terdapat empat kupingan. Ukuran guci berdiameter mulut 19,5 cm, diameter bagian karinasi 38 cm, diameter dasar 25 cm, tinggi 54 cm, dan tebal 2 cm. Guci semacam ini berasal dari Thailand. BCB lainnya milik Bapak Raja Sembilan adalah: piring putih biru berasal dari Guangdong, Cina Selatan masa dinasti Qing, sebanyak dua buah melekat jadi satu (karena glasir meleleh waktu pembakaran). Tempayan bertutup (tutupnya tidak ada) biru putih dengan motif hias sulur. Pada bagian punggung terdapat kupingan sebanyak 4 buah dalam 2 kelompok. Berasal dari Dehua, Fujian, Cina masa dinasti Qing akhir abad ke-19 -- 20. Botol yang kemungkinan merupakan keramik Arita akhir abad ke-17. Pot bunga berwarna hijau. Hiasan motif binatang terdiri kerbau, rusa, ayam, dan naga. Terdapat tempat tali untuk menggantung berbentuk kepala singa. Teko berasal dari Eropa, berhias motif awan dan manusia.

Di rumah Bapak Terus Glr. Dipati Megou tersimpan beberapa BCB berupa: Guci sebagaimana yang tersimpan di rumah Bapak Raja Sembilan, bulibuli berglasir coklat kemerahan berasal dari Thailand. Pada bagian bahu terdapat kupingan sebanyak 2 buah. Di bawah kupingan terdapat garis-garis melingkar. Botol kecil berglasir warna hijau, berhias cecak dengan teknik tempel. Bagian mulut dalam keadaan pecah. Tempayan bertutup (tutupnya tidak ada) biru putih dengan motif hias sulur. Pada bagian punggung terdapat kupingan sebanyak 4 buah dalam 2 kelompok. Tempayan seperti ini berasal dari Dehua, Fujian, Cina masa dinasti Qing akhir abad ke-19 -- 20. Beberapa senjata terdiri dari sebilah golok, 4 bilah keris, dan sebuah tombak (payan).

Di rumah Bapak Edi Glr. Pangeran Raja Tunggal tersimpan tombak (payan) Ramik Tangis yang berarti banyak menangis. Tangkai terbuat dari ruyung. Tombak ini berhubungan erat dengan cerita peperangan yang melibatkan Minak Muttah Dibumi dan Prajurit Puting Gelang.

Bapak Ratu Tunggal, Gunungkatun Malay, menyimpan sebuah piring keramik dalam keadaan pecah menjadi tiga bagian. Piring tersebut berwarna dasar putih dengan hiasan berwarna merah. Hiasan berupa motif sulur-suluran. Pada bagian tengah berhias gambar seorang sedang menghisap candu (nyeret) di depannya terdapat tiga orang yang satu diantaranya sedang bermain gitar. Aktivitas orang tersebut digambarkan di depan rumah. Bagian dasar berkaki tipis. Pada bagian ini terdapat merek pabrik pembuatnya yaitu Syrian Ref H & Co.

Bapak Komarudin Glr. Sutan Riou, Gunungkatun Malay, menyimpan sebilah keris. Keris tersebut lurus tanpa lekukan.

Di rumah Bapak Muhir tersimpan beberapa benda dari keramik terdiri: mangkuk polos putih kebiruan berkaki berasal dari Cina masa dinasti Qing. Tempayan kecil berglasir warna putih kebiruan. Tempayan semacam ini berasal dari Guangdong, Cina abad ke-17 – 18. Bulibuli berglasir warna coklat kehijauan. Pada bagian punggung terdapat hiasan tempel untuk kupingan sebanyak 4 buah. Bulibuli semacam ini berasal dari Sawankhalok, Thailand abad ke-14 – 15. Teko bertutup berwarna putih dengan hiasan berwarna-warni, dengan motif bunga dan rumah dengan atap bersusun. Pada bagian dasar tertulis nama pabrik pembuatnya yaitu Maastrich.

Di rumah Bapak Sahpri Gelar Sutan Syah Ratu, penggarap lahan situs Benteng Sabut, tersimpan benda-benda peninggalan Prajurit Tejang Buok berupa: Batu pipisan berkaki. Pada dataran penghalus terdapat cekungan berbentuk oval. Pada alas bagian kaki terdapat cekungan memanjang yang merupakan bekas pakai untuk mengasah. Masyarakat mengira benda ini adalah batu asah. Meriam dari bahan perunggu. Panjang dari ujung hingga pangkal 111 cm, diameter bagian pangkal 37 cm sedangkan bagian ujung 20 cm. Pada bagian tengah terdapat batangan bulat menonjol pada kedua sisi. Benda tinggalan yang lainnya yaitu beberapa tombak, pedang, keris, dan kopiah (peci).

Bapak Sabro Glr. Sutan Gabo, Marga Buay Bulan Udik, menyimpan meriam kecil dari bahan kuningan. Keadaan meriam polos tanpa ragam hias. Menurut keterangan Bp. Sabro meriam tersebut merupakan tinggalan Ngabehi Singa Dewasa yang merupakan keturunan ke delapan Sutan Raja Sama.

Bapak Ikram merupakan peninggalan dari moyangnya. Benda-benda tersebut terdiri dari: Manik-manik berjumlah ratusan butir dari bahan batuan, kaca, logam, kerang, dan biji-bijian. Dua piring dengan hiasan tulisan berhuruf Jawi berwarna putih biru dari Eropa. Piring berwarna hijau retak. Piring Eropa biru putih berhias flora. Mangkuk Eropa biru putih berhias flora dan rumah. Botol Eropa sebanyak 3 buah dari bahan batuan dengan glasir berwarna coklat kekuningan. Glasir hanya pada bagian atas hingga punggung. Botol yang terbesar bentuknya semacam stoples. Pada bagian bahu terdapat tulisan 4 Qt. Dua yang lain berbentuk sebagaimana botol. Botol Eropa dari bahan glass berhias motif bunga berwarna hijau kuning. Gong. Bokor dari bahan kuningan. Bagian badan berhias motif sulur-suluran dan pola geometris motif tumpal dan meander. Bagian kaki berhias pola geometris. Bejana bertutup dari bahan kuningan. Bagian badan wadah terdapat tonjolan semacam kupingan berbentuk kepala binatang. Motif hias berupa sulur-suluran dan bunga. Beberapa cupu bertutup dari bahan kuningan. Salah satu diantaranya berhias krawangan (berlubang-lubang). Sepasang alat musik perkusi yang disebut rujih.


5. Kampung Gedongratu

Situs Gedongratu Tua
Situs Gedongratu Tua berada pada posisi 4°29’14” LS dan 105°00’50” BT. Di situs ini masih terdapat bekas jalur jalan yang dibuat pada jaman Belanda. Jalur jalan ini ke arah barat laut menghubungkan Negeribesar, ke arah timur menghubungkan Panaragan hingga Menggala, dan ke arah barat daya menghubungkan Karta hingga Negararatu.

Pada tepi jalan lama di sebelah timur laut Gedongratu Tua terdapat makam bangsa Belanda. Masyarakat menyebutkan bahwa tokoh yang dimakamkan adalah juru ukur yang membangun jalan. Keadaan makam berjirat dari tembok bata berdenah segi empat. Pada tiap sudut jirat terdapat semacam pilar rendah. Jirat tidak dilengkapi nisan.

Jejak bekas pemukiman di Gedongratu Tua sudah sulit dikenali. Indikator sebagai bekas pemukiman berupa beberapa tumbuhan budidaya yang sudah tua seperti misalnya mangga, jengkol, dan petai. Lahan bekas pemukiman tidak dibatasi benteng atau parit keliling. Di sebelah barat bekas pemukiman terdapat dua makam tua. Kedua makam, masing-masing dilengkapi cungkup. Makam pertama berada di sebelah timur merupakan makam Minak Ceprana. Di sebelah barat sedikit ke selatan, pada jarak sekitar 10 m terdapat makam Minak Serunting.

Situs Gunung Silung
Situs Gunung Silung merupakan suatu bukit kecil di sebelah utara aliran Way Kiri, berada pada posisi 04°28’58,3” LS dan 105°01’03,1” BT. Lokasi situs di sebelah timur jalan lama yang menghubungkan Gedongratu (Tua) dengan Negeri Besar. Di sebelah selatan situs terdapat aliran Way Tijang yang merupakan anak Way Gemol.


Beberapa Benda Arkeologis
Bapak Muhammad Alip Glr. Minak Pecek Marga menyimpan sebilah tombak (payan) bernama “Muli Areng” yang berarti Gadis Hitam. Menurut keterangan Bapak Muhammad Alip, tombak ini merupakan pusaka Minak Ratu Junjungan keturunan Minak Ratu Guruh Malay. Keistimewaan tombak dapat untuk menangkal api dalam membuka hutan (sistem tebas bakar). Dalam menggunakan, tombak tersebut dimandikan, airnya untuk membatasi areal yang akan dibakar.

Bapak Ahmad Jazuli Glr. Tuan Ngarang Dunia menyimpan keris yang tangkainya dari bahan gading. Bilah keris berlekuk 13. Warangka (selubung) terbuat dari bahan emas gula kelapa (emas berkadar 18 karat). Keris ini merupakan warisan turun temurun.

Bapak Hasan Glr. Sutan Empat Marga juga menyimpan keris yang didapatkannya secara turun temurun. Bilah keris berlekuk 11, dengan pegangan terbuat dari bahan kayu berbentuk motif manusia. Warangka juga terbuat dari bahan kayu.


6. Panaragan

Situs Keramat Gemol
Situs Kramat Gemol berada pada kelokan sungai di sebelah barat Way Kiri. Di sebelah timur situs merupakan pertemuan antara Way Kiri dengan Way Gemol. Way Gemol yang merupakan anak sungai Way Kiri mengalir di sebelah tenggara situs. Secara geografis situs Kramat Gemol berada pada posisi 4°29’14” LS dan 105°02’15” BT.

Pada sekeliling areal situs berjarak antara 200 – 500 m terdapat semacam lembah. Di sebelah selatan benteng, lembah bermula dari Way Kiri (sebelah tenggara) memutar ke arah selatan hingga barat daya dan berakhir di sebelah barat benteng. Lembah ini disebut kandungan Badak. Di sebelah utara benteng, lembah juga bermula dari Way Kiri memutar ke arah barat laut hingga ke arah barat. Lembah ini disebut kandungan Minak Muli.

Lahan inti situs Keramat Gemol luasnya sekitar 0,75 ha dikelilingi benteng. Benteng pada sisi barat daya sepanjang sekitar 85 m. Di luar benteng terdapat parit. Bila diukur dari dasar parit, tinggi benteng yang tersisa sekarang sekitar 1,5 m. Lebar parit pada bagian dekat sungai (sudut tenggara) berkisar 5 m. Ke arah barat laut parit ini semakin melebar, dan pada sudut barat lebarnya 9 m. Benteng maupun parit kemudian berbelok ke arah timur laut sepanjang sekitar 20 m. Pada ujung ini lebar parit kembali menyempit yaitu sekitar 3,5 m. Parit dan benteng berakhir pada tanah datar selebar 10 m, kemudian berlanjut lagi sepanjang sekitar 32 m. Dengan terputusnya benteng dan parit pada sisi ini seakan-akan membentuk “jalan” ke wilayah dalam benteng. Pada ujung “jalan” tersebut kedalaman parit berkisar 1,5 m.

Pada ujung timur laut, parit dan benteng berakhir pada suatu lembah yang semakin ke arah utara dan barat semakin curam. Lembah ini ke arah barat menyatu dengan kandungan Minak Muli. Benteng sisi timur laut, pada ujung barat laut berada pada tepian lembah yang menyatu dengan kandungan Minak Muli tersebut. Ujung benteng ini bila ditarik garis lurus ke arah ujung timur laut benteng sisi barat laut berjarak 35 m.

Konstruksi benteng sisi timur laut berbeda dengan sisi yang lain. Pada sisi ini, benteng yang berupa gundukan tanah terdapat pada dua bagian yaitu sebelah dalam dan luar. Sehingga parit yang ada berada di antara dua benteng. Parit tersebut lebarnya sekitar 10 m, dengan panjang dari ujung barat laut hingga tenggara sekitar 80 m. Pada pertengahan sisi juga terdapat semacam “jalan”. Namun pada “jalan” tersebut yang terpotong hanya bentengnya saja, keadaan parit tetap cekung.

Pada tepi sungai, sisi luar sebelah selatan benteng terdapat makam Minak Indah. Makam berada di dalam cungkup bangunan permanen berdinding tembok bata dengan lantai keramik. Di sekeliling halaman cungkup dilengkapi pagar tembok bata. Bangunan ini merupakan hasil renovasi tahun 2001 yang semula berupa cungkup sederhana. Makam ditandai dua buah batu sebagai nisan. Di dalam cungkup tersimpan pipisan batu dalam keadaan pecah menjadi tiga bagian. Secara utuh pipisan batu berbentuk dasar segi empat. Pada kedua sisi bagian lebar berbentuk kurawal. Bagian tengah sisi atas (dataran penghalus) terdapat cekungan.


Situs Benteng Prajurit Puting Gelang
Situs Benteng Prajurit Puting Gelang berada di hulu Way Gemol dekat Umbulan Lebung. Dari situs Kramat Gemol berjarak sekitar 6 km ke arah barat. Secara geografis berada pada posisi 4°28’57” LS dan 105°01’19” BT. Tinggalan yang terdapat pada situs tersebut berupa fetur parit. Keadaan parit masih jelas terlihat membujur arah utara – selatan. Pada sisi barat parit terdapat benteng tanah. Penelusuran terhadap benteng dan parit tersebut memperlihatkan ujung utara bermula pada aliran Way Gemol, sedangkan ujung selatan sedikit demi sedikit berakhir pada tanah datar. Pada ujung selatan tersebut parit berangsur-angsur dangkal sedangkan benteng berangsur-angsur rendah. Di sebelah selatan ujung benteng parit ini terdapat selokan ke arah barat. Selokan ini menyatu dengan sungai kecil yang disebut Capang Turus, selanjutnya menyatu dengan Way Gemol.

Kawasan sekitar situs banyak terdapat lebung antara lain lebung Maskrenah, lebung Kacah, lebung Kepending, lebung Gengas, lebung Batang, lebung Baru, lebung Kikim, lebung Boho, lebung Kandis, dan lebung Ulu Balak.

Beberapa Benda Arkeologis
Bapak Zulkifli menyimpan beberapa benda kuna peninggalan Minak Indah berupa: Lawang Kuri terbuat dari bahan kayu, dipenuhi hiasan ukiran pola sulur-suluran. Pepadun juga terbuat dari kayu. Pada bagian sandaran terdapat hiasan pola sulur-suluran dan burung yang distilir (disamarkan). Piring keramik dengan warna dasar putih berhias pola flora berwarna biru. Manik-manik dengan berbagai ukuran dengan warna merah, kuning, dan biru. Lonceng dalam ukuran kecil (klintingan) terbuat dari bahan kuningan.

Bapak Syaibun menyimpan benda kuna berupa guci berwarna dasar putih retak berhias warna biru melingkar pada bagian pundak badan. Di dalam guci ini disimpan manik-manik berjumlah ratusan hingga ribuan butir. Manik-manik berwarna kuning, hijau, biru, merah, coklat, dan lain-lain. Guci kedua berwarna coklat. Piring berwarna dasar putih dengan hiasan di bawah glasir dengan warna biru bermotif flora. Piring ini untuk menyimpan manik-manik berukuran besar (gemes). Manik-manik ada yang berbentuk panjang segi enam berwarna merah hati dari bahan glas. Gelang dan klintingan terbuat dari bahan kuningan.

Bapak Herman Glr. Sutan Panglima Besar menyimpan sejumlah benda arkeologis yang dipercaya sebagai tinggalan Minak Sang Putri, adik Minak Kemalabumi dari Pagardewa. Benda-benda tersebut adalah: Jambangan dari bahan terakota, bagian tepian berhias dengan teknik tekan. Batu penghalus (lemper atau cobek). Batu pipisan berbentuk segi empat berkaki. Pada tepian bagian dataran penghalus berhias motif tajak. Pemilik menyatakan bahwa benda ini adalah Papadun batu. Gandik (pasangan pipisan). Pekinangan dari bahan kuningan, bola-bola besi (peluru meriam), bandul, dan beberapa manik-manik.

Bapak Amirudin bin Ahmad Yuap Glr. Raja Bintang Tepuk Gabo menyimpan beberapa benda arkeologis yang dipercaya sebagai tinggalan Prajurit Puting Gelang. Benda-benda tersebut adalah: Sejumlah manik-manik dari bahan batu dan glas, Moluska, Beberapa kancing dari tempurung kelapa. Benda-benda ini disimpan dalam satu kantong bercampur dengan benda baru seperti kancing baju berlobang empat dari bahan plastik dan sisir plastik. Gelang dari bahan perungu. Lobang dalam berbentuk oval, hal ini karena ketebalannya yang berbeda pada bagian tertentu. Pada penampang bagian luar berhias ukiran pola geometris dan motif sulur-suluran membentuk pola burung phoenix. Tombak dengan bagian mata dari bahan besi baja berhias motif sulur-suluran dalam keadaan aus. Tangkai atau pegangan dari bahan “ruyung” (batang pohon aren).


7. Kampung Menggalamas
Menurut keterangan Bapak Ratu Pertama (Suku Tepuk Gedung, Menggalamas), masyarakat yang mendiami Kampung Menggalamas terdiri dari 5 suku yang asalnya berbeda-beda. Pertama Suku Tanjung Agung merupakan buay (keturunan) dari Sutan Ratu Kunang di Way Kunang. Kedua Suku Tepuk Lebou merupakan buay Sang Pelanduk pendatang dari Jawa. Tokoh ini adalah pembantu Sengecang Bumi yang bertugas menunggu Umbul Menggala yang sekarang berada di wilayah administratif Desa Candra Kencana. Ketiga Suku Tepuk Tengah adalah buay Pengabir yang makamnya di Umbul Tulung Lebou. Keempat Suku Tepuk Gedung buay Minak Dang Belawan. Kelima Suku Meriksa buay Minak Sengecang Bumi. Antara Minak Dang Belawan dengan Minak Sengecang Bumi adalah kakak adik.

Minak Dang Belawan – artinya jangan berlawan (bermusuhan) – dahulu adalah penguasa daerah muara Way Papan, Gunungkatun. Hingga sekarang makam (keramat) Minak Dang Belawan tidak diketahui. Tetapi masyarakat Gunungkatun menyatakan bahwa keramat yang terdapat di hulu Benteng Sabut Bujung Menggalou adalah keramat Minak Sendang Belawan. Lokasi ini juga dekat dengan muara Way Papan. Dengan demikian Minak Sendang Belawan yang dituturkan masyarakat Gunungkatun adalah Minak Dang Belawan moyang masyarakat Suku Tepuk Gedung, Menggalamas.

Selanjutnya dituturkan Bapak Ratu Pertama, ayah Minak Dang Belawan yang disebut-sebut Mangkubumi, mewariskan tombak kepada Minak Dang Belawan. dan sekarang disimpan keluarga Bapak Ratu Pertama. Tombak (payan) tersebut bernama Tabu Gayou. Tombak berbentuk pipih meruncing. Panjang mata tombak sekitar 30 cm, dengan sarung terbuat dari kayu tanpa dibelah. Keadaan tombak terrawat baik, menurut penuturan Bapak Ratu Pertama, tombak tersebut sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah berubah, bagian-bagiannya tidak ada yang diganti.

Di Kampung Menggalamas terdapat bawang yang disebut Bawang Kemudik Emas. Menurut keterangan Bp. Ali Nurdin disebut Kemudik Emas karena pada zaman dahulu ada moyang dari Menggala melemparkan ikan kecil di bawang (rawa) tersebut. Ikan-ikan tersebut ketika terkena sinar matahari berwarna kuning seperti emas, sehingga orang-orang menyebutnya kemudik emas.


8. Kampung Bandar Dewa
Kampung Bandar Dewa, Kecamatan Tulangbawang Tengah berada di sebelah hulu Kampung Menggalamas. Pada tepi sebelah timur Way Kiri tepatnya pada posisi 4°28’54,4” LS dan 105°04’56,5” terdapat makam kuna yang oleh masyarakat disebut Makam Olok Renggou. Penyebutan ini karena berada di pinggir Olok (lubuk) Renggou. Masyarakat Bandar Dewa tidak tahu secara pasti tokoh yang dimakamkan. Menurut keterangan Bapak Sutan Tutuk (Bandar Dewa) dan Bapak Muhnan Glr. Minak Penyimbang Ratu (Suku Tanjung Agung, Menggalamas), dahulu di lokasi tersebut merupakan pemakaman orang-orang Gunung Terang.[1]

Kondisi makam kuna ditandai dua nisan berjarak sekitar 2 m. Nisan berbentuk pipih panjang pada bagian atas berbentuk kurawal. Bentuk demikian merupakan salah satu gaya Aceh. Makam tersebut berada pada tebing sungai. Menurut keterangan Bapak Sutan Tutuk, ketika daerah tersebut pertama kali dibuka untuk pemukiman masyarakat Bandar Dewa, kedua nisan itu sudah ada. Pengamatan di lokasi tersebut tidak menemukan artefak. Sebagai lokasi pemukiman, di sebelah utara makam pada tebing sungai terdapat tangga raja (pelabuhan) yang sampai sekarang masih difungsikan. Pada keluarga Bapak Sutan Tutuk tersimpan objek benda cagar budaya bergerak berupa tombak. Dahulu tombak tersebut dipergunakan untuk sarana penyembuhan.


9. Pagardewa
Pagardewa berada pada pertemuan antara Way Kanan dan Way Kiri atau pada posisi 4°26’ LS dan 105°07’42” BT. Di Pagardewa objek arkeologis yang ada berupa makam-makam tokoh leluhur. Menurut cerita tutur masyarakat setempat yang disampaikan oleh Bp. Kepala Desa riwayat Pagardewa berhubungan dengan tokoh yang bernama Tuan Riou Mangkubumi. Ketika itu terdapat tiga orang pembantu yang bernama Sekitar Alam, Semiring Kapal, dan Selebar Daun.


Makam Tuan Riou Mangkubumi
Makam Tuan Riou Mangkubumi terletak di luar pemukiman sebelah barat desa. Makam ini berada di tengah kebun di sebelah selatan jalan desa berjarak sekitar 300 m. Makam dilengkapi cungkup yang merupakan bangunan baru. Pintu masuk cungkup berada di sisi barat. Jirat makam dilengkapi delapan nisan. Nisan kaki dan nisan kepala masing-masing empat buah. Nisan berpenampang lintang segi empat terbuat dari bahan semen. Baik jirat maupun nisan juga merupakan bangunan baru.

Komplek Makam Minak Kemalabumi
Komplek Makam Minak Kemalabumi berada di pemukiman penduduk sebelah utara jalan desa. Komplek makam ini dilengkapi bangunan cungkup baru. Di dalam cungkup terdapat dua makam yang jiratnya seakan-akan jadi satu. Jirat ini juga merupakan bangunan baru. Posisi nisan kepala ke dua makam lebih tinggi dibandingkan dengan nisan kaki. Makam Minak Kemalabumi di sebelah barat. Sedangkan jirat makam sebelah timur dipercaya bukan sebagai kuburan manusia (tokoh) tetapi merupakan kuburan senjata.

Komplek Makam Ratu Bagus Buang
Ratu Bagus Buang dipercaya berasal dari Banten. Tokoh ini juga biasa disebut Tubagus Buang Gelar Sultan Haji Muhammad. Komplek makam berada di permukiman bagian timur pada sebelah utara jalan desa. Komplek makam juga dilengkapi bangunan cungkup baru. Di dalam cungkup terdapat 5 makam. Kelima makam ini terbagi dua, di bagian barat cungkup terdiri 2 makam dan di bagian timur terdiri 3 makam.

Pada bagian barat, makam yang berada di sebelah barat adalah makam Tuan Penambah dan di sebelah timurnya tidak diketahui tokohnya. Kedua makam ini bernisan dari bahan kayu berpenampang lintang bulat (silindrik). Nisan ini merupakan nisan baru. Kelompok makam di bagian timur, makam yang berada di sebelah barat adalah makam Ratu Bagus Buang. Nisan dalam ukuran pendek berpenampang lintang bulat terbuat dari kayu. Makam yang di tengah adalah makam Putri Balau. Nisan makam berbentuk pipih dari bahan semen. Makam yang berada di sebelah timur tidak diketahui tokohnya. Nisan dari bahan semen berpenampang lintang segi delapan. Baik jirat maupun nisan ketiga makam ini juga merupakan bangunan baru.



SITUS-SITUS DI KAWASAN WAY KANAN

1. Situs Batu Putih
Kawasan Batu Putih secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang. Menurut cerita sejarah yang disampaikan Bapak Thoyib, keramat Batu Putih berhubungan dengan riwayat lima moyang yaitu Patih Trio Terbumi yang dimakamkan di Negeri Besar, Minak Trio Bumi dimakamkan di Gunung Terang, Minak Serio Bumi dimakamkan di Bakung, Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, dan Minak Kemala yang makamnya ada di Negeri Batin.

Kawasan Batu Putih berada di sebelah selatan Way Kanan. Di kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang bermuara di Way Kanan. Sugai-sungai tersebut adalah Way Kemerting yang mengalir di bagian paling hulu (barat). Ke arah hilir terdapat aliran Way Mejelapai. Ke arah hilir lagi terdapat beberapa cekungan-cekungan yang disebut kandungan. Situs Batu Putih berada di antara dua kandungan.

Pada kawasan Batu Putih terdapat beberapa fakta arkeologik yaitu fetur makam, tumulus, dan sebaran artefak. Pada bagian barat laut situs terdapat beberapa makam dengan tokoh utama Minak Buay Sugih. Di sekitar makam ini dijumpai pula beberapa makam.

Fetur berupa tumulus ada dua. Tumulus pertama terletak di sebelah timur makam berjarak sekitar 50 m, atau pada posisi 04°24’50,9” LS dan 105°03’57” BT. Tumulus ini berdiameter sekitar 3 m dengan tinggi sekitar 1,5 m. Tumulus kedua terdapat di sebelah timur tumulus pertama berjarak sekitar 150 m, pada posisi 04°24’49” LS dan 105°04’01” BT. Tumulus ini lebih kecil bila dibandingkan dengan tumulus pertama. Pada bagian tengah lahan terdapat kawasan genangan banjir (flood plain/back swamp). Sebaran artefak ditemukan di tepian back swamp sebelah timur, memanjang dari utara ke selatan.

Bapak Thoyib yang menghuni Batu Putih, antara tahun 1977 hingga 1982 telah menemukan beberapa benda yang dianggap “aneh”. Benda-benda tersebut adalah pecahan keramik menggambarkan kepala manusia berwarna kehijauan. Menurut penuturannya, dahulu juga ada yang bergambar naga tetapi dipinjam orang yang mengaku daru Unila. Hingga sekarang benda tersebut tidak pernah dikembalikan. Manik dari bahan perunggu. Dua beliung persegi dari batuan kalsedon. Beliung pertama berwarna merah kecoklatan, beliung kedua berwarna putih dan coklat kekuningan.


2. Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung
Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung, Kecamatan Gunung Terang secara umum berada di tepian Way Kanan sebelah timur dan utara aliran sungai. Pola pemukiman memanjang utara – selatan. Kampung Gunung Agung berada di bagian selatan sedangkan di bagian utara merupakan Kampung Gunung Terang. Di daerah ini aliran Way Kanan berkelok-kelok. Bermula dari arah barat daya menuju arah barat laut. Di dekat pemukiman sungai berbelok ke arah selatan kemudian ke arah timur. Pada belokan sungai dari arah utara ke arah timur masyarakat menyebutnya Lubuk Kali Mangkuk. Diinformasikan pada sekitar tahun 1970 Bapak Sahri pernah menemukan 5 mangkuk keramik. Dua mangkuk diantaranya sekarang disimpan Bapak Mushak Kampung Margamulya, Kec. Gunung Terang. Mangkuk tersebut berwarna biru putih berasal dari Cina masa Qing. Aliran Way Kanan dari Lubuk Kali Mangkuk ke arah timur terdapat muara Way Ngisen. Di dekat muara Way Ngisen terdapat bukit kecil yang disebut Gunung Sri Gandou.

Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari selatan ke utara hingga Way Ngisen. Parit ini juga merupakan batas antara Kampung Gunung Agung dengan Gunung Terang. Di bagian utara pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah.

Makam Minak Jagat
Makam Minak Jagat berada di bagian selatan kampung di tengah pemukiman penduduk, tepatnya pada posisi 04°23’41,1” LS dan 105°05’49,7” BT. Lahan lokasi makam relatif lebih rendah dari pemukiman. Kondisi makam dilengkapi bangunan cungkup. Bangunan ini merupakan bangunan baru yang terakhir direnovasi tahun 2000. Di dalam bangunan cungkup tersebut terdapat empat makam. Makam Minak Jagat adalah makam kedua dari barat. Nisan juga merupakan nisan baru berbentuk silindrik (tipe gada). Ketiga makam yang lain bernisan pipih. Menurut keterangan ketiga makam tersebut adalah makam isteri Minak Jagat.

Bekas Kampung Lama
Bekas kampung lama (tua) terdiri bekas kampung Melayu dan bekas Kampung Gunung Terang. Lokasi bekas kampung Melayu berada di ujung tenggara pemukiman. Jejak-jejak bekas pemukiman tidak terlihat dengan jelas, kecuali hanya lahan yang berpola segi empat dengan luas sekitar 2 hektar. Di sebelah selatan lokasi ini merupakan lokasi kampung Gunung Terang Tua. Pada bagian selatan lokasi ini terdapat lokasi bekas sesat agung Gunung Terang. Lokasi ini sekarang berupa lahan yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Di antara sela-sela rumpun pohon pisang masih dapat dijumpai bekas-bekas fondasi bangunan. Di sekitar lokasi terdapat sebaran fragmen keramik asing dan lokal.

Cabuh Gelou
Cabuh Gelou berada di bagian barat daya kampung, tepi sebelah utara Way Kanan, tepatnya pada posisi 04°23’31,8” LS dan 105°05’45,4” BT. Untuk menuju lokasi, dari jalan desa melalui jalan setapak ke arah barat sejauh ± 50 m. Yang disebut Cabuh Gelou adalah gundukan tanah (tumulus) dengan diameter ± 8 m tinggi hingga puncak ± 2 m. Menurut keterangan masyarakat, tumulus tersebut merupakan kuburan pusaka berupa alat perang bernama Cabuh gelou (Cabuh = alat untuk menangkap ikan, gelou = gila).

Makam Minak Patih Seriou Bumi
Makam Minak Patih Seriou Bumi terletak di sebelah barat laut keramat Cabuh Gelou, berada di tepi sebelah timur Way Kanan, tepatnya pada posisi 04°23’32,7” LS dan 105°05’44,4” BT. Untuk menuju lokasi makam dari jalan desa melalui jalan setapak sejauh ± 100 m. Kondisi makam dilengkapi bangunan cungkup yang merupakan bangunan baru. Di dalam bangunan cungkup hanya terdapat makam Minak Jagat. Keadaan makam sulit dikenali karena hanya berupa hamparan pasir sedikit menggunduk, tidak dilengkapi jirat dan nisan.

Benda-benda Arkeologis Lainnya
Keluarga Bapak Muhammad Serupi menyimpan beberapa benda kuna yang diperolehnya secara turun temurun. Benda tersebut terdiri dari bejana perunggu yang dipercaya sebagai tempat sanggul isteri Minak Petarou.[2] Bagian badan bejana ini terbagi dua bagian, bagian atas berhias motif wayang sedangkan bagian dasar berhias motif zodiak. Bagian dasar sebelah dalam terdapat hiasan motif bintang delapan. Arca berbentuk katak dari bahan logam berwarna kuning (emas berkadar rendah). Skin atau pisau kecil yang fungsinya untuk mengerat kemenyan yang akan dibakar. Manik batu berwarna putih bening, berpola segi enam pada bagian tengahnya meruncing. Benda-benda kuna tersebut merupakan bagian dari peninggalan Minak Jagat.

Bapak Mushak yang sekarang tinggal di Kampung Margamulya, Kec. Gunung Terang menyimpan benda-benda peninggalan Minak Jagat lainnya yang terdiri: Alat musik yang terdiri dari: canang (gong kecil), gong, tabuh (gong besar), satu pasang rujih. Pecahan piring keramik Thailand berwarna kecoklatan, Fragmen talam, Keris, Tempurung kelapa yang dipercaya sebagai peralatan makan. Tempurung tersebut pada bagian luar dan dalam terdapat tulisan berhuruf Lampung Kuna.

Keluarga Bapak Ali Yusuf yang beralamat di Jalan (Strat) I No. 24, RT 1 RK I Gunung Terang menyimpan beberapa benda kuna yaitu: Piring Eropa hijau putih, Piring Eropa biru putih, Fragmen sendok Guang Dong putih biru, Qing. Guci bertutup dari Cina biru putih, Guci dari Cina biru putih, Guci hijau, Guci bertutup hijau, Botol Eropa sebanyak 3 buah, Gong berukuran diameter 48 cm, Tabuh (alat musik semacam gong tetapi lebih besar) berukuran diamter 64 cm.


3. Bawang Lambo
Bawang Lambo secara geografis berada di sebelah timur laut aliran Way Kanan, pada posisi 4°23’37” LS dan 105°08’9” BT. Secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Lambo Kibang. Sedangkan secara adat di bawah Kampung Pagardewa, Kecamatan Tulangbawang Tengah. Bagi masyarakat Kampung Pagardewa, Bawang Lambo merupakan sumberdaya alam yang menghasilkan ikan. Panen ikan (ngerik) dilakukan pada saat air surut (kemarau). Pelaksanaan ngerik diawali dengan upacara adat pada makam moyang Minak Raja Malaka dan Minak Mekedom yang berada di sekitar bawang.

Menurut penuturan Bapak Bahrudin, di bawang tersebut masih terdapat bangkai kapal terbang yang terjerembab pada sekitar tahun 1940-an. Pada saat air surut, bangkai kapal terbang tersebut kelihatan. Secara tidak sengaja, Bapak Bahrudin pernah menangkap buaya yang hingga sekarang dipeliharanya. Di sebelah utara bawang terdapat Umbul Mangga milik Bapak Hasan Nuri dari Senin Nambo, Pagardewa. Pengamatan pada permukaan memperlihatkan beberapa fragmen keramik asing yang tersebar secara sporadis. Salah satu fragmen keramik yang dijadikan sampel merupakan fragmen mangkuk berasal dari Cina masa dinasti Qing.



SITUS-SITUS DI KAWASAN WAY TULANGBAWANG

1. Kampung Penumangan
Kampung Penumangan berada pada aliran Way Kiri kawasan selatan sungai. Dari Panaragan berada di sebelah timur laut berjarak lurus sekitar 4 km atau pada posisi 4°27’25” LS dan 105°06’21” BT. Di daerah ini terdapat aliran sungai kecil yang disebut Tulung Kibang. Sungai ini bermuara di Way Tulangbawang. Karena situs utama di wilayah ini berada di aliran Way Tulangbawang, maka dikelompokkan dalam situs di kawasan Way Tulangbawang.

Situs Benteng Minak Temenggung
Keberadaan situs Benteng Minak Temenggung berhubungan dengan etno-sejarah mengenai tokoh Minak Temenggung. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa Minak Temenggung adalah tokoh yang ada hubungannya dengan masyarakat Pagardewa. Sebagai tokoh besar Minak Temenggung memegang jabatan penting dalam membangun masyarakat Pagardewa di bawah naungan Kesultanan Banten. Menurut keterangan Bapak M. Ali Glr. Sutan Jaudrajau masyarakat Pagardewa bukan merupakan keturunan Minak Temenggung. Selain tokoh Minak Temenggung, masyarakat menerangkan ada tokoh lainnya yaitu Minak Kerenggo. Tokoh ini mempunyai benteng di sebarang sungai, sebelah timur Way Tulangbawang. Makamnya dipercaya di Umbulan Tebing Suloh tepi sebelah barat Way Tulangbawang.

Situs Benteng Minak Temenggung berada di sebelah barat Way Tulangbawang, sebelah timur Kampung Penumangan berjarak lurus sekitar 3 km atau pada posisi 4°27’02” LS dan 105°07’52” BT. Kawasan benteng sebagian berupa kebun singkong dan ada yang masih berupa padang ilalang. Pengamatan terhadap benteng tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan karena sebagian besar tertutup ilalang. Berdasarkan gejala yang terlihat, benteng tersebut membujur dengan orientasi utara – selatan dengan panjang 600 hingga 800 m. Menurut keterangan Bapak Suwardi, ujung utara benteng bermula pada Bawang Potat dan pada ujung selatan pada Bawang Bakon. Dari singkapan yang terlihat karena aktifitas pembuatan jalan bagi kepentingan perkebunan singkong, terlihat bahwa benteng terdiri dari dua gundukan tanah mengapit parit.

Pada bagian utara, antara kawasan benteng dan Way Tulangbawang terdapat makam Minak Temenggung dan Bawang Pukem. Makam Minak Temenggung berada di sebelah timur benteng. Keadaan makam berupa jirat panjang yang merupakan bangunan tembok bata berbentuk empat persegi panjang. Pada makam ini terdapat beberapa fragmen keramik asing dan fragmen bejana perunggu berbentuk silinder. Di sebelah timur makam terdapat Bawang Pukem yang merupakan danau tapal kuda. Pada ujung utara benteng terdapat semacam sungai semusim yang berakhir di Bawang Pukem ini.

Makam Adipati Mangku Desa
Tokoh Adipati Mangku Desa dikenal juga dengan nama Melayu Gelang Besi. Menurut keterangan Bapak Mansur yang merupakan keturunan ke-6 Adipati Mangku Desa, beliau berasal dari Melayu. Makam Adipati Mangku Desa berada di tengah komplek pemakaman umum yang terletak di pinggir sebelah barat kampung. Makam tersebut berada pada kelompok makam khusus yang dibatasi dinding tembok. Di dalam lingkungan tersebut dimakamkan beberapa tokoh kerabat Adipati Mangku Desa. Khusus makam Adipati Mangku Desa dilengkapi bangunan cungkup terbuka tanpa dinding. Jirat makam berupa tembok persegi panjang dilapisi poselen. Baik jirat, cungkup, maupun tembok keliling merupakan bangunan baru.


Beberapa Benda Arkeologis
Bapak Suwardi menyimpan meriam besi. Keadaan meriam relatif terawat karena masih dipakai pada waktu upacara adat. Meriam ini merupakan laras senapan yang dimodifikasi menjadi meriam sundut. Selain itu juga menyimpan payan peninggalan Ruguk Adipati Guruh
.

Bapak Heromsyah bin A. Manan menyimpan Al-Quran kuna dan papadun. Al-Quran disimpan dalam bungkusan kertas koran. Halaman luar baik muka maupun belakang lengket dengan koran pembungkus tersebut. Keadaan sedikit agak rapuh. Pada bagian tepi sudah mulai rapuh. Cover sudah tidak ada, jilidan sudah agak rusak. Beberapa halaman sudah lepas, meskipun masih terkumpul. Al-Quran kuna ditulis pada kertas Eropa dengan cap air (water mark) bergambar singa dengan salah satu kaki depan menginjak bola dan yang satunya diangkat ke atas memegang pedang. Setiap halaman tidak diberi iluminasi (hiasan pinggir). Tulisan berupa tulisan tangan menggunakan tinta berwarna hitam, pada bagian tertentu berwarna merah. Dalam satu halaman terdiri 17 baris. Papadun berbentuk empat persegi panjang yang tiap sudutnya berkaki. Pada semua bagian polos tidak berukir. Kedua benda tersebut ditempatkan di atas para.

Bapak Madra’i, Suku Berirung menyimpan guci yang disebut Tajau Ruguk Peninggalan Ruguk Adipati Mangku Tulang Bawang. Dalam riwayat diceritakan benda semacam ini juga tersimpan di Ruguk Tua, Kalinda.

Bapak Muchtar menyimpan benda arkeologik yang dikeramatkan berupa batu asah. Menurut Bapak Muchtar batu itu bernama Batu Ilahan. Batu ini diambil pada sekitar 20 tahun yang lalu di tepi rawa Bungur, Umbulan Gendi, Pagardewa. Batu tersebut memperlihatkan ciri batu asah dari masa neolitik, tradisi bercocok tanam. Bahan batuan dari fosil kayu. Jejak-jejak pemakaian terlihat pada tiga sisi. Pemakaian secara intensif terjadi pada satu sisi sehingga meninggalkan jejak cekungan dengan permukaan halus.


2. Lingkungan Gunung Sakti, Menggala Selatan
Di Lingkungan Gunung Sakti terdapat makam Minak Riou Kuaso. Menurut keterangan Bapak Rajo Sangon, Minak Riou Kuaso adalah anak buah Minak Sengaji, merupakan pendatang dari Jawa. Minak Riou Kuaso menikah dengan saudara perempuan (adik atau ayu) Minak Sengaji yang bernama Bulan. Kawasan Umbul Bujung Pring dan Bawang Bujung Lomot merupakan kekuasaan Minak Riou Kuaso atas pemberian Minak Sengaji.

Makam Minak Riou Kuaso di Umbul Bujung Pring tepi Bawang Bujung Lomot. Lokasi berada pada lereng tepian bawang sisi selatan. Di sebelah utara umbulan dan makam merupakan bawang. Keadaan makam bercungkup bangunan permanen baru. Jirat makam rendah berbentuk persegi panjang. Nisan makam ganda. Nisan bagian luar dari bahan batuan granodiorit, sedangkan nisan bagian dalam dari bahan semen.

3. Ujunggunung Udik

Makam Minak Sengaji
Situs makam Minak Sengaji berada di sebelah timur Way Tulangbawang atau pada posisi 4°28’ LS dan 105°14’ BT. Menurut keterangan Bp. H. Ahmad Muzani (70-an tahun) yang merupakan keturunan ke-27, Minak Sengaji adalah pendiri kota Menggala. Perkembangan kota tua Menggala sampai sekarang masih dapat disaksikan sisa-sisa kejayaannya. Beberapa bangunan lama masih dapat dijumpai. Pola kota yang terbagi beberapa bagian oleh jalan menunjukkan ciri kota yang berkembang pada masa kolonial. Bekas pelabuhan rakyat yang disebut tangga raja merupakan indikator kuatnya perdagangan pada masa lalu.

Keadaan komplek makam Minak Sengaji sudah mengalami pemugaran total. Sekarang ini komplek makam tersebut berada di dalam cungkup yang merupakan bangunan baru. Di dalam cungkup terdapat empat makam dengan jirat berjenjang. Jirat makam Minak Sengaji merupakan yang tertinggi diapit dua jirat makam lainnya. Kedua jirat makam yang mengapit tersebut lebih rendah. Selanjutnya di sebelah utara ketiga jirat ini terdapat sebuah jirat makam lagi yang ukurannya lebih pendek dan lebih rendah.

Nisan makam Minak sengaji berbentuk bulat memanjang (silindrik) pada bagian atas meruncing. Nisan makam di sebelah barat dan timur makam Minak Sengaji juga berbentuk bulat memanjang dengan ukuran lebih pendek dan lebih kecil. Nisan makam paling timur juga berbentuk bulat memanjang. Kesemua nisan ini terbuat dari bahan batuan granodiorit.


4.
Kibang Tengah
Di Kampung Kibang Tengah tersimpan papadun batu, batu pipisan, dan lawang kuri milik Kibang Tengah suku Marga Buay Bulan. Menurut keterangan Bapak Riswandi bin Efendi, Kampung Kibang Tengah, Menggala, papadun batu dibawa dari daerah hilir. Papadun batu seperti itu semula dua buah, yang satu sekarang berada di Sekala Berak, Kota Agung.

Kondisi papadun batu dahulu berbentuk persegi, sekarang sudah dalam keadaan pecah menjadi beberapa bagian. Pecahnya papadun batu tersebut karena ulah orang yang tidak bertanggung jawab. Di belakang pecahan papadun batu terdapat batu pipisan. Kondisi batu pipisan masih utuh. Bentuk dasar segi empat berkaki. Pada setiap sudut bagian bawah dataran terdapat bentuk menonjol sebagai variasi. Di atas tonjolan, mengelilingi sisi bagian dataran terdapat alur memanjang. Pada bagian dataran terdapat cekungan jejak pakai.

Lawang kuri terbuat dari bahan kayu dalam keadaan kepingan bagian daun pintu. Pada salah satu bilah papan berhias pola geometris diisi motif pilin berhadapan. Bilah papan yang merupakan bagian tepi daun pintu berhias motif sulur-suluran. Salah satu bilah lagi berhias medalion di dalam pola arabesk.

5. Bakung
Desa Bakung terletak di sebelah timur Menggala berjarak lurus sekitar 10 km atau sekitar 15 km bila melalui sungai Tulangbawang. Desa ini sekarang terpecah menjadi dua yaitu Bakung Udik dan Bakung Ilir. Secara geografis Desa Bakung berada di pinggir Way Tulangbawang atau pada posisi 4°27’ LS dan 105°20’ BT. Di daerah ini Way Bawangbakung bersatu dengan Way Tulangbawang. Pemukiman penduduk terkonsentrasi di sepanjang sisi timur Way Tulangbawang. Beberapa rumah lama yag masih ada semuanya menghadap ke sungai. Bentuk rumah semuanya merupakan rumah berkolong (rumah panggung).

Menurut keterangan Bapak Sekretaris Desa setempat, sebagai penyusuk tiuh atau pembuka hutan untuk dijadikan pemukiman di Bakung adalah Minak Dewa Pengantin. Tokoh ini merupakan pendatang dari Banten yang kemudian diangkat menjadi kepala kampung. Ketika itu daerah ini disebut tiuh Gunung Jambi. Komplek makam Minak Dewa Pengantin berada di Desa Bakung Udik.

Objek arkeologis lain yang terdapat di Desa Bakung Udik adalah benteng tanah. Bentuk benteng merupakan dua gundukan tanah sejajar yang di tengahnya terdapat alur cekungan (parit). Benteng ini terdiri dari tiga lajur. Benteng I terletak di pemukiman Tiuh Gunung Jambi. Pengamatan pada lahan pemukiman penduduk di sebelah barat benteng menemukan beberapa fragmen keramik. Benteng II terletak di luar pemukiman sebelah barat daya berjarak sekitar 1 km. Pengamatan di sekitar benteng ini tidak ditemukan artefak. Benteng III terletak juga di luar pemukiman. Benteng ini berada di sebelah timur laut Benteng II berjarak lurus sekitar 500 m atau di sebelah selatan Benteng I dengan jarak sekitar 750 m.

6. Gunung Tapa
Desa Gunung Tapa berada pada posisi 4°23’ LS dan 105°33’ BT. Pemukiman desa Gunung Tapa telah mengalami pergeseran lokasi. Dahulu pemukiman berada pada dataran tinggi yang terletak di tepi sebelah selatan Way Tulangbawang. Dataran tinggi ini terbentuk oleh batuan tufa. Singkapan tufa terlihat jelas pada tebing sungai. Cerita masyarakat setempat menyebutkan bahwa tokoh yang membangun pemukiman di Gunung Tapa adalah Sutan Kepala Mega.

Lahan situs yang merupakan bekas pemukiman lama sekarang berupa semacam hutan kecil yang banyak ditumbuhi semak belukar. Pada lahan tersebut terdapat gundukan tanah yang dianggap sebagai keramat Minak Muli. Gundukan tanah tersebut tidak terlalu tinggi bila dibandingkan dengan daerah sekitar. Di atas gundukan dibangun cungkup dari bahan kayu beratap genteng.

7. Gedong Meneng
Pemukiman di Gedongmeneng merupakan pemukiman baru. Dahulu lokasi pemukiman berada di daerah hulu Way Gedongmeneng, berjarak sekitar 3,5 km dari lokasi pemukiman sekarang. Secara pasti tidak diperoleh keterangan kapan pemukiman tersebut pindah.

Di Gedongmeneng tersimpan beberapa benda arkeologis yang disimpan Bapak Pekat. Beberapa benda tersebut tersimpan pada lantai atas bangunan kecil di depan rumah. Menurut keterangan, dahulu benda-benda tersebut sering dipakai untuk upacara adat. Namun karena pernah ada yang hilang maka sekarang tidak dipakai lagi. Benda kuna tersebut terdiri dari: enam nampan perunggu berbagai ukuran, belanga perunggu, tabung perunggu, kendi keramik Cina dengan hiasan atas glasir berpola tumbuhan, berwarna merah dan hijau dengan dasar putih, sepasang alat musik perkusi (rujih). Masyarakat sampai sekarang masih mengkeramatkan benda-benda tersebut karena dianggap sebagai peninggalan leluhur.

8. Dente Teladas
Di Kampung Dente terdapat makam Minak Rajawali. Jirat dan nisan makam sudah dipugar. Makam dilengkapi cungkup yang merupakan bangunan baru dari kayu beratap genteng. Di sekitar makam ini terdapat beberapa makam penduduk sekarang.

Di Kampung Teladas, menurut keterangan salah seorang penduduk, di perairan Way Tulangbawang pernah ditemukan benda-benda kuna berupa senapan yang sudah sangat berkarat. Dahulu juga pernah ada semacam pelampung bulat dari besi. Di daerah kuala, bila keadaan air surut terlihat adanya bekas benteng. Masyarakat menyebutkan bahwa benteng tersebut dibangun oleh Petrus Albertus.


SITUS-SITUS DI KAWASAN PEDALAMAN

1. Situs Makam Minak Ngegulung

Situs makam Minak Ngegulung terletak di pinggir rawa Bujung Tenuk pada posisi 4°33’ LS dan 105°13’30” BT. Rawa ini merupakan hulu Way Bawangbakung. Menurut keterangan Bp. Sutan Tihang Marga (60-an tahun) Minak Ngegulung bernama lengkap Wali Allah Minak Ngegulung Sakti Sayidina Ibrahim. Makam yang ada sekarang sebenarnya bukan kuburan tetapi bekas jejak terakhir Minak Ngegulung ketika meninggalkan kampung Tua menuju tempat lain.

Keadaan situs sekarang berupa komplek makam umum. Di komplek makam ini berdiri beberapa bangunan fasilitas bagi para peziarah dan untuk keperluan ritual yang dibangun masyarakat. Jalan masuk dari sisi selatan. Di dekat pintu masuk, sebelah utara sisi timur terdapat ruangan terbuka untuk peziarah perempuan. Di sebelah barat bangunan ini terdapat halaman terbuka. Di sebelah utara halaman terdapat bangunan yang berfungsi untuk dapur umum bila ada acara ritual misalnya khaul.

Di sebelah selatan halaman terdapat bangunan tempat menyimpan benda-benda tinggalan Minak Ngegulung. Benda-benda tersebut antara lain keris, tasbih, rambut, dan kendi perunggu. Sebelah utara bangunan ini terdapat bangunan terbuka yang berfungsi untuk para peziarah laki-laki.

Di sebelah timur bangunan terbuka tersebut terdapat rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding dari kulit kayu. Bangunan tersebut dimaksudkan sebagai contoh rumah jaman dahulu. Di sebelah utara rumah kayu terdapat masjid. Makam Minak Ngegulung terdapat di sebelah barat laut bangunan terbuka untuk peziarah laki-laki.

Makam Minak Ngegulung berupa tanah datar yang dikelilingi pagar tembok berlapis keramik dengan pintu masuk di sisi selatan. Karena objek ini dipercaya bukan sebagai kuburan maka tidak terdapat jirat maupun nisan. Di sebelah selatan dan barat daya makam ini banyak terdapat makam umum.

Di sebelah barat makam Minak Ngegulung terdapat bangunan tempat menyimpan benda-benda tinggalan para kerabat Minak Ngegulung. Benda yang disimpan di sini antara lain beberapa bilah keris, batu asah, dan nampan perunggu. Pengamatan di lokasi tersebut berhasil menemukan fragmen keramik.

2. Situs Jung Belabuh
Situs Jung Belabuh berada di Kampung Simpang Marga Mulya pada posisi 4°38’06” LS dan 105°07’06” BT. Pada situs tersebut terdapat benteng tanah berdenah segi empat. Di sebelah utara dan barat situs terdapat sungai kecil. Sungai yang mengalir di sebelah barat situs adalah Tulung Kalutum yang merupakan anak Way Miring. Menurut keterangan pada sungai tersebut pernah ditemukan bangkai perahu. Konstruksi perahu merupakan perahu papan.

Benteng sisi selatan panjangnya sekitar 100 m, pada bagian barat berakhir pada aliran sungai. Benteng sisi timur sekitar 200 m dan sisi utara sekitar 100 m. Benteng sisi utara pada bagian barat juga berakhir pada aliran sungai. Pada sisi barat tidak berbenteng. Keadaan benteng sudah banyak yang hampir datar dengan lahan sekitar. Benteng tersebut hanya berupa gundukan tanah tanpa ada cekungan di tengahnya.

Di dalam lahan benteng, pada bagian tenggara terdapat dua makam dan beberapa makam yang sudah sulit dipastikan jumlahnya. Makam tersebut tidak berjirat dan bernisan. Tanda sebagai makam berupa kumpulan beberapa batu atau gundukan tanah. Indikator pemukiman selain adanya fetur benteng tanah juga ditemukan artefak berupa fragmen keramik, fragmen kaca, dan fragmen besi.


3. Situs Bakung Nyelai
Situs Bakung Nyelai berada di Kampung Candra Kencana. Lahan situs berada di sebelah utara aliran sungai Bakung Nyelai, tepatnya pada posisi 4°35’04” LS dan 105°07’06” BT. Tinggalan yang ada berupa sebaran fragmen artefak. Fragmen artefak yang telah ditemukan antara lain fragmen kerak besi, gerabah, keramik, dan kaca.

Di sebelah timur laut lokasi sebaran fragmen artefak berjarak sekitar 100 m, terdapat “makam”. Menurut keterangan Bp. Nurcholis, Kepala Desa Candra Kencana, keberadaan “makam” dilatari oleh hal yang bersifat magis, “ditemukan” pada tanggal 30 Januari 1981. Bp. Nurcholis percaya bahwa “makam” tersebut merupakan kuburan Tubagus H. Mustofa bin Tubagus Ibrahim bin Tubagus Husein. Sebagai legitimasi, tokoh Tubagus H. Mustofa dipercaya sebagai keturunan Sultan Hasanudin dari Banten.

Keadaan “makam” berupa gundukan tanah dikelilingi pagar tembok bata yang merupakan bangunan baru. Sebagai tanda “makam” berupa serumpun pohon bambu kuning. Di dekat “makam” terdapat pohon pule dan kayu samang.

4. Tulung Sawo
Tulung Sawo merupakan sungai kecil yang alirannya berada di sebelah selatan Way Tulangbawang. Aliran Tulung Sawo bermuara di Way Bakung dan selanjutnya menyatu dengan Way Tulangbawang. Di aliran Tulung Sawo terdapat tiga wilayah yaitu Tulung Sawo Gabo merupakan pemukiman buay Minak Rio Begeduh dan buay Minak Indah. Tulung Sawo Tengah merupakan pemukiman buay Minak Indah dengan isteri kedua yaitu orang Abung dari Terbanggi. Tulung Sawo Lebo merupakan pemukiman buay Prajurit Puting Gelang. Di wilayah Tulung Sawo Lebo terdapat umbulan yang merupakan bekas pemukiman.

Situs Tulung Sawo Lebo secara administratif termasuk wilayah Kampung Panaragan, Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Situs berada pada pertemuan antara Sungai Seluang Kuring dan Tulung (sungai kecil) Sawo, berada pada posisi 04°31’24,3” LS dan 105°07’47,64” BT. Tulung Sawo mengalir dari arah barat laut menuju tenggara. Sungai Seluang Kuring mengalir dari arah timur laut menuju barat daya. Di sebelah selatan situs kemudian menyatu dengan Tulung Sawo kemudian mengalir ke arah timur.

Jejak pemukiman terdapat pada dua sektor yaitu di sektor utara dan sektor selatan. Keadaan lahan pada sektor utara, di bagian timur merupakan lahan kebun singkong sedangkan di bagian barat merupakan lahan yang tidak diurus sehingga banyak ditumbuhi ilalang dan semak belukar. Keadaan lahan pada sektor selatan merupakan kebun karet. Antara sektor utara dan selatan terdapat fetur parit. Fetur ini sudah tidak begitu kelihatan. Jejak yang dapat dikenali berupa cekungan selebar 1 – 1,5 m dengan kedalaman sekitar 0,5 m. Fetur parit ini menghubungkan antara Tulung Sawo dengan Sungai Seluang Kuring. Menurut penuturan Bapak Tuan Pesirah dan Bapak Bandarsyah, parit itu dahulu dalam dan lebar.

Berdasarkan pengamatan pada permukaan situs, artefak sebagai indikator pemukiman banyak ditemukan baik pada sektor utara maupun selatan. Pengamatan pada sektor utara hanya dilakukan pada bagian timur, yaitu pada lahan yang ditanami singkong, sedangkan pada bagian barat tidak dilakukan pengamatan karena tertutup ilalang dan semak-semak. Artefak yang ditemukan di sektor utara maupun selatan kebanyakan berupa fragmen keramik asing.

Pada sekitar tahun 1983 Bapak Sumardi menemukan empat gelang dari bahan perunggu. Lokasi penemuan gelang pada lahan di sebelah timur laut situs Tulung Sawo. Sekarang lokasi ini berupa kebun karet. Lokasi ini berada pada posisi 04°30’55,4” LS dan 105°07’59,3” BT. Bapak Sumardi menemukan gelang ketika sedang membuka hutan untuk perkebunan. Gelang tersebut ditemukan tertimbun di tanah. Menurut keterangan beliau, tanah di mana gelang tersebut terpendam warnanya kuning sedangkan di sekitarnya berwarna kuning kehitaman.

Oleh Bapak Sumardi gelang tersebut kemudian diserahkan kepada yang dipandang berhak, yaitu keturunan moyang pemilik lahan. Menurut keterangan, lahan tersebut merupakan milik moyang Prajurit Puting Gelang. Oleh karena itu hingga sekarang tersimpan pada keturunan Prajurit Puting Gelang yaitu Bapak Khoiri Rujungan yang bertempat tinggal di Kampung Panaragan. Pada tahun 1987 salah satu gelang hilang, hingga sekarang tinggal tiga.

5. Gengas Cendung
Di sebelah hilir (ke arah timur) wilayah Tulung Sawo terdapat Umbulan Pangeran Pati. Umbulan ini merupakan kekuasaan buay Temenggung Agung, suku Bujung, Kampung Penumangan. Di sebelah hilir Umbulan Pangeran Pati terdapat Umbulan Jagaurip. Umbulan ini merupakan kekuasaan buay Adipati Ruguk, Kampung Penumangan. Ke arah hilir lagi terdapat Umbulan Gengas Cendung yang merupakan kekuasaan buay Ratu Bagus Melapar dari Banten.

Bapak H. Abas, mantan Kepala Kampung Kuala Teladas, menuturkan bahwa Ratu Bagus Melapar sebagai penguasa Umbulan Gengas Cendung berasal dari Banten. Ratu Bagus Melapar dimakamkan di Pasar Batang, Umbulan Pedada, Gedong Aji. Ketika Tulangbawang berada di bawah kekuasaan Banten, Ratu Bagus Melapar merupakan penjaga Way Pedada.

Diceritakan bahwa di Gengas Cendung ada keluarga yang mempunyai anak buaya. Buaya tersebut mempunyai daun telinga. Ketika masih kecil, buaya itu dipelihara di bokor berkaki. Setelah agak besar, buaya itu dilepaskan di Gengas Cendung. Bokor tempat memelihara bayi buaya itu sekarang disimpan keluarga Bapak Ratu Bagus Raden Perwira di Menggala. Kondisi bokor berkaki masih utuh dan baik, terbuat dari bahan kuningan. Bagian badan terdapat tonjolan melingkar. Ukuran bokor berdiameter mulut 25 cm, tinggi keseluruhan 27,5 m. Diameter kaki 15 cm, tinggi kaki 3,5 m. Di sebelah hilir Umbulan Gengas Cendung terdapat Umbulan Bawangbeter. Menurut keterangan Bapak Sudirman Sanusi Yunit, Menggala, umbulan ini milik Negara Tukang.



UNTUK KITA RENUNGKAN
Di kawasan Tulangbawang banyak tersimpan data arkeologi. Data arkeologi tersebut sangat penting untuk bahan kajian kehidupan masyarakat masa lalu. Sebagaimana sifat data arkeologi pada umumnya yaitu selalu tidak lengkap, data tersebut diantaranya masih dapat dipakai untuk merekonstruksi kehidupan masa lalu, menyusun sejarah budaya, dan mencari gambaran proses perubahan budaya.

Gambaran masa lalu Tulangbawang sebagaimana sumber asing, memperlihatkan bahwa dahulu sebagai kawasan penting yang sempat menjalin hubungan perdagangan pada tingkat regoinal dan internasional. Pola hubungan perdagangan pada masa lalu tersebut tergambarkan pada penempatan pemukiman yang hingga sekarang masih ada situs-situsnya. Menurut kajian Bennet Bronson terhadap beberapa situs pemukiman, kota akan tetap eksis karena dukungan perdagangan. Kota-kota yang berada di aliran sungai akan membentuk jenjang pemukiman yang disebut dengan istilah pola dendritic. Kota-kota tersebut akan berada pada pertemuan dua sungai. Di Tulangbawang pola semacam ini juga terlihat.

Tingkat kemahiran teknologi masyarakat Tulangbawang masa lalu terlihat sudah pada taraf tinggi. Beberapa artefak yang ditemukan di beberapa situs menunjukkan industri cetak tuang logam sudah dikenal. Hal ini mungkin juga didukung sumber daya alam berupa pasir besi yang terdapat di beberapa lokasi tepi Way Tulangbawang. Pengolahan benda-benda tanah liat bakar (tembikar) dengan motif hias dan bentuk khas sudah berkembang di Tulangbawang. Teknologi pengolahan kaca juga sudah dikenal masyarakat Tulangbawang. Manik-manik dari bahan kaca sudah diproduksi di beberapa situs misalnya Benteng Sabut dan Batu Putih.

Benda-benda keramik dari luar banyak yang masuk ke Tulangbawang. Pesatnya perdagangan ini ditunjang dengan komoditas hasil bumi dan sungai. Sumber Portugis menyebutkan bahwa Tulangbawang merupakan pemasok kebutuhan ikan, beras, lada, dan getah damar bagi pasar regional dan internasional. Kebesaran ini juga tidak lepas dari perjuangan para moyang.

Berdasarkan tinggalan arkeologi yang tidak lengkap tersebut dapat diketahui beberapa hal sebagaimana di atas. Kebesaran Tulangbawang pada masa lalu tidak sekedar cerita. Fakta arkeologis membuktikan hal itu. Beberapa tinggalan arkeologis adalah sumberdaya bagi landasan ideologik dalam rangka pembangunan ke depan. Oleh karena itu pelestarian dan pengkajian terhadap potensi sumberdaya arkeologi tidak akan cukup puas hanya sampai di sini.




KEPUSTAKAAN
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.

Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.

Graaf, H.J. de dan Pigeaud, Th. G. Th. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafitipers.

Sumadio, Bambang (ed.) 1990. “Jaman Kuna” Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.




[1] Berdasarkan cerita masyarakat Gunung Terang yang dituturkan Bapak Muhammad Serupi, Gunung Terang, di Bandar Dewa terdapat makam Minak Riou Dingin.
[2] Menurut Jan Fontein (1972: 159) bejana ini disebut Piala Zodiak (Mintaqulburuj). Masyarakat yang mendiami pegunungan Tengger, yang dianggap sebagai keturunan Majapahit, masih menggunakannya dalam upacara keagamaan tertentu. Lambang-lambang zodiak yang ada sedikit berbeda dengan yang berlaku di Barat. Gemini dilambangkan dengan sepasang kepiting, Copricorn dilambangkan udang, dan Pisces dilambangkan Gajah-ikan. Motif wayang (punakawan) merupakan penggambaran para leluhur. Beberapa Piala Zodiak berangka tahun yang pernah ditemukan berkisar antara tahun 1321 – 1430.