Sabtu, 21 September 2019

Timbak Adalah Bentuk Dukungan Pemerintah Dalam Melestarikan Budaya Lampung Yang Merupakan Kewajiban Negara


Timbak Adalah Bentuk Dukungan Pemerintah Dalam Melestarikan Budaya Lampung  Yang Merupakan Kewajiban Negara 

Oleh : Rovel Rinaldi, S.H.I., M.H Gelar Suntan Syarif Marga
Dari Tiyuh Adat Negara Ratu Liba Marga Bunga Mayang Sungkai
22 September 2019

Tabik Pun Numpang Bupendapat jama Unyin Segala


 Beberapa waktu yang lalu kita di hebohkan dengan viralnya video buang tembakan oleh Oknum Aparat dalam acara Begawi Adat Lampung di Lampung Utara yang masih kerabat dari Saibul Hajat. Menurut penulis kejadian tersebut membuka mata bagi mereka yang tidak tahu dengan Adat Lampung khususnya proses Begawi Cakak Pepadun seolah-olah penggunaan senjata api tanpa sesuai aturan atau izin atasan, jawaban iya dong jika di lihat dari hukum positif dan secara dangkal tanpa menimbang kearifan lokal di Lampung.  Dalam Amanat Undang-undang  Dasar 1945 Pasal 32 Ayat 1 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Viralnya Video tersebut aneh bagi bukan Suku lampung Namun tidak bagi masyarakat Lampung karena penggunaan Timbak  telah ada jauh sebelum Indonesia Merdeka dan Lampung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ketika Prosesi Begawi atau kegiatan adat lainnya Baik Masyarakat Lampung Pepadun maupun Masyarakat Lampung Saibatin.  Menurut penulis bahwa :
1.      Dalam prosesi Adat Lampung khususnya Begawi  sering kali mengggunakan perangkat yang di larang oleh hukum Positif Indonesia misalnya, senjata tajamseperti Laduk, pisau atau golok dalam  ngerabung sanggar yakni dapat melanggar Pasal 2 UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan UU Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948. Penggunaan mercon dalam beberapa rangkaian Adat juga melanggar undang-undang yang sama yakni UU Darurat no 12 Tahun 1951 dan Pasal 187 KUH Pidana tentang bahan peledak dan penggunaan senjata Api itu sendiri, yang tentunya yang berhak menggunakan senpi dalam hukum Indonesia yakni Aparat penegak hukum seperti polisi dan TNI dengan segala ketentuannya karena sejak Indonesia merdeka tidak di benarkan masyarakat umum menggunakan Senjata Api.
2.      Penggunaan Timbak, Laduk/Pedang/Golok, Pisau dan Mercon dalam beberapa prosesi Adat Lampung khususnya Begawi telah lama digunakan sebelum Indonesia Merdeka dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam budaya Lampung.
3.      Karena Lampung yang telah merupakan bagian Indonesia tentu harus tunduk kepada Aturan Hukum yang berlaku sehingga dengan penuh kesadaran penggunaan Timbak/bedil/meriam tidak di gunakan oleh masyarakat Adat tetapi oleh Aparat Penegak Hukum yang berhak menggunakan senjata tersebut.
4.      Jika permasalahan tersebut di permasalahkan maka kedepan perlu memasukkan kearifan lokal dalam penggunaan senpi/bedil/timbak dalam hukum Positif Indonesia. Menurut penulis jika hal itu di permasalahkan selain pengguna senpi sebagaimana dalam UU Nomor 8 tahun 1948. Perlu di bentuk Polisi Adat/Laskar Adat yang bisa juga menggunakan Senjata Api untuk di gunakan dalam Prosesi Adat.
5.      Pemerintah wajib melindungi dan memajukan Adat Budaya atau kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat sebagimana diamanatkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 32 Ayat 1 dan  dalam Undang- Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Termasuk Polisi dan TNI yang berkewajiban mendukung dan melestarikan budaya termasuk Begawi Cakak Pepadun dengan membuang tembakan sebagaimana Budaya yang telah ada yakni Timbak. Namun jika tetap disalahkan maka di perlukan Polisi Adat/Laskar Adat yang bisa juga menggunakan Senjata Api untuk di Gunakan dalam Prosesi Adat kedepan.




Rabu, 23 Januari 2019

Ungkapan batil, ‘barangsiapa yang tidak punya guru (syaikh) maka gurunya adalah setan’



Rovel Rinaldi, SHI., M.H
Rabu, 24 Januari 2019
Tulisan ini di latarbelakangi oleh ungkapan barangsiapa yang tidak punya guru (syaikh), maka gurunya adalah setan’. Ungkapan ini menjadi kebanggan bagi mereka yang belajar secara tradisional yang tidak mengakui institusi pendidikan modern mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang memiliki banyak guru/dosen dan menggunakan media Belajar dari buku, kaset/rekaman, internet, atau sumber-sumber lain sesuai perkembangan zaman. Dari ungkapan di atas penulis mencoba mencari sumber ungkapan tersebut apakah dari Al-quran atau hadis Shoheh, ternyata ungkapan itu bukanlah Hadis Soheh sebagaimana ungkapan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah.[1] Bahwa :

أمَّا قولُهم: "مَن لا شيخَ له؛ فشيخُه الشيطان"؛ فهذا باطل، ما له أصل، وليس بحديث. وليس لك أن تتَّبع طرق الشيخ إذا كان مخالفاً للشرع، بل عليك أن تتبع الرَّسول -صلَّى الله عليه وسلَّم- وأصحابَه -رضي الله عنهم وأرضاهم- ومَن تَبِعهم بإحسان، في صلاتك، وفي دعائك، وفي سائر أحوالك. يقول الله -جلَّ وعلا-: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}[الأحزاب: 21]. ويقول -سبحانه وتعالى-: {وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ..} الآية [التوبة: 100]. فأنت عليك أن تتبعهم بإحسان باتِّباع الشَّرع الذي جاء به النَّبيُّ -صلى الله عليه وسلَّم- والتَّأسِّي بهم في ذلك وعدم البدعة التي أحدثها الصوفية وغير الصوفية. والله المستعان

“Adapun perkataan mereka (yaitu Shuufiyyah – Abul-Jauzaa’) : ‘barangsiapa yang tidak punya guru (syaikh), maka gurunya adalah setan’; maka perkataan ini adalah bathil. Tidak ada asalnya. Bukan pula hadits. Tidak boleh bagimu untuk mengikuti jalan seorang syaikh apabila ia menyelisihi syari’at. Bahkan wajib bagimu untuk mengikuti Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam shalatmu, doamu, dan seluruh keadaanmu. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu’ (QS. Al-Ahzaab : 21). Allah subhaanahu wa ta’ala juga berfirman : ‘Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik’ (QS. At-Taubah : 100). Maka wajib bagimu untuk mengikuti mereka dengan baik, dengan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; serta mencontoh mereka dalam hal tersebut. Juga wajib bagimu untuk tidak berbuat bid’ah yang diada-adakan oleh Shuufiyyah dan non-Shuufiyyah. Wallaahul-musta’aan” [selesai]. Pernyataan ini dapat di lihat dalam fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah.[2]
Namun penulis belajar yang paling baik adalah dengan berguru kepada seseorang (baik ulama, ustadz, atau orang yang berilmu lain). Para ulama dulu bahkan mencela orang-orang yang tidak keluar mencari ilmu dan mendatangi para ulama. Belajar dari guru lebih praktis dan lebih terhindar dari kekeliruan.
Namun jika kemudian dimutlakkan bahwa orang yang tidak punya guru, maka gurunya adalah setan - sebagaimana perkataan ini beredar di kalangan shuufiy - ini juga tidak betul. Perkataan ini sebenarnya lebih dilatarbelakangi agar orang memegang dan menyandarkan ilmu pada orang-orang tertentu dan berfanatik kepadanya. Bukan dilatarbelakangi oleh dorongan dan anjuran untuk menuntut ilmu.
Menuntut ilmu melalui perantaraan kitab itu tidaklah mutlak mesti keliru out put-nya. Meskipun tetap harus kita katakan, belajar kitab pada ulama/ustadz/ahli ilmu lebih baik daripada belajar secara otodidak. Yang jadi tolok ukur kebenaran tetaplah kesesuaian terhadap kebenaran itu sendiri (yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah 'alaa fahmis-salaf).
Betapa banyak orang yang berguru namun ternyata malah sesat ?. Apakah kita pikir Bisyr Al-Maarisiy itu tidak punya guru ?. Apakah kita pikir Al-Khomeiniy itu tidak punya guru ?. Apakah kita pikir Ulil Abshar itu tidak punya guru ?. Betapa banyak pula orang yang berbangga dengan sanad, namun ilmu dan amal mereka ternyata menyelisihi sunnah ?. Hanya mengingatkan, punya silsilah sanad guru itu tidaklah jaminan bahwa ilmu yang didapat itu benar. Dalam ilmu sanad, bukankah kita mengenal rantai periwayatan lemah atau bahkan palsu, karena ternyata perawinya ada yang pendusta, pembuat bid'ah, dan lemah.
Surat Al-Baqarah/2 : 30-33
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ {30} وَعَلَّمَ ءَادَمَ الأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَآءِ هَؤُلآءِ إِن كُنتُم صَادِقِينَ {31} قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ {32} قَالَ يَآءَادَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّآ أَنبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ {33}
Artinya :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata : “Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku me-ngetahui apa yang tidak Engkau ketahui.”  Dia mengajar kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian memaparkannya kepada para malaikat, lalu berfirman : “Sebutkanlah kepadaKu nama-nama benda itu, jika kamu ‘orang-orang’ yang benar.” Mereka berkata : “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman : “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini !” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman : “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan kamu sembunyikan?”
Dalam masalah pengangkatan Adam a.s. sebagai khalifah di bumi ini terkandung suatu makna yang tinggi dari hikmah Ilahi yang tak diketahui oleh para malaikat menjadi khalifah dan penghuni bumi ini, niscaya mereka tidak akan dapat mengetahui rahasia-rahasia alam ini, serta ciri khas yang ada pada masing-masing makhluk, sebab para malaikat itu sangat berbeda keadaannya dengan manusia. mereka tidak mempunyai kebutuhan apa-apa, seperti sanding pangan dan harta benda. Maka seandainya merekalah yang dijadikan penghuni dan penguasa di bumi ini, niscaya tak akan ada sawah dan ladang, tak akan ada pabrik dan tambang-tambang, tak akan ada gedung-gedung yang tinggi menjulang, tak akan ada musik dan seni. Juga tidak akan lahir bermacam-macam ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang telah dicapai umat manusia sampai sekarang ini yang hampir tak terhitung jumlahnya.
Pengangkatan manusia menjadi khalifah, berarti pengangkatan Adam a.s. dan keturunannya menjadi khalifah terhadap makhluk-makhluk lainnya di bumi ini karena keistimewaan yang telah dikaruniakan Allah swt. kepada mereka yang tidak diberikan kepada makhluk-makhluk-Nya yang lain, seperti kekuatan akal yang memungkinkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya guna menyelidiki dan memanfaatkan isi alam di bumi ini, seperti kesanggupan mengatur alam menurut ketentuan-ketentuan Allah.
Dengan kekuatan akalnya itu, manusia dapat memiliki pengetahuan dan kemampuan yang hampir tak terbatas, serta dapat melakukan hal-hal yang hampir tak terhitung jumlahnya. Dengan kekuatan itu, manusia dapat menemukan hal-hal yang baru yang belum ada sebelumnya. Dia dapat mengolah tanah yang gersang menjadi tanah yang subur. Dan dengan bahan bahan yang telah tersedia di bumi ini manusia dapat membuat variasi-variasi baru yang belum pernah ada. Dikawinkannya kuda dengan keledai, maka lahirlah hewan jenis baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu hewan yang disebut "bagal". Dengan mengawinkan atau menyilangkan tumbuh-tumbuhan yang berbunga putih dengan yang berbunga merah, maka lahirlah tumbuh-tumbuhan jenis baru, yang berbunga merah putih. Diolahnya logam menjadi barang-barang perhiasan yang beraneka ragam dan alat-alat keperluan hidupnya sehari-hari. Diolahnya bermacam -macam tumbuh-tumbuhan menjadi bahan pakaian dan makanan mereka. Dan pada zaman sekarang ini dapat disaksikan berjuta-juta macam benda hasil penemuan manusia, baik yang kecil maupun yang besar, sebagai hasil kekuatan akalnya.



[1] http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/05/barangsiapa-yang-tidak-punya-guru-maka.html

[2] https://binbaz.org.sa/old/38771