Mahkamah Syar'iyah/Pengadilan Agama Itu Tinggi,
Dan Tidak Ada Yang Lebih Tinggi
Darinya
Penulis : Rovel Rinaldi, SHI., MH
(Kasubbag Umum dan Keuangan
Pengadilan Agama Sengeti Kelas IB)
Sarolangun, 03 Juni 2023
Wewenang
Pengadilan Agama berdasarkan penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama adalah :
A. Perkawinan
Dalam
perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau berdasarkan
Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah,
antara lain:
- Ijin beristeri lebih dari seorang;
- Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
tahun dalam hal orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
- Dispensasi kawin;
- Pencegahan perkawinan;
- Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
- Pembatalan perkawinan;
- Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
- Perceraian karena talak;
- Gugatan perceraian;
- Penyelesaian harta bersama;
- Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
- Penguasaan anak-anak;
- Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
- Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
- Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
- Pencabutan kekuasaan wali;
- Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
- Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal
tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
- Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada
di bawah kekuasaannya;
- Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
- Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campur; dan
- Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.
B. Waris
Dalam
perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama disebutkan
berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
adalah sebagai berikut:
- Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
- Penentuan mengenai harta peninggalan;
- Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
- Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
- Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian-bagiannya.
Dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian
warisan”. Kini, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang tersebut,
kalimat itu dinyatakan dihapus. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan
berdasarkan hukum Islam, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh Pengadilan
Agama. Selanjutnya dikemukakan pula mengenai keseragaman kekuasaan Pengadilan
Agama di seluruh wilayah nusantara yang selama ini berbeda satu sama lain,
karena perbedaan dasar hukumnya.
Selain dari
itu, berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang untuk menyelesaikan
permohonan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang
agama yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
C. Wasiat
Mengenai
wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Peradilan Agama dijelaskan
bahwa definisi wasiat adalah: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut
meninggal dunia.” Namun, Undang-Undang tersebut tidak mengatur lebih jauh
tentang wasiat. Ketentuan lebih detail diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI, wasiat ditempatkan
pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.
Ketentuan
mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat orang membuat wasiat,
harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai berlaku, di mana wasiat
dilakukan, seberapa banyak maksimal wasiat dapat diberikan, bagaimana kedudukan
wasiat kepada ahli waris, dalam wasiat harus disebut dengan jelas siapa yang
akan menerima harta benda wasiat, kapan wasiat batal, wasiat mengenai hasil
investasi, pencabutan wasiat, bagaimana jika harta wasiat menyusut, wasiat
melebihi sepertiga sedang ahli waris tidak setuju, di mana surat wasiat
disimpan, bagaimana jika wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat meninggal
dunia, wasiat dalam kondisi perang, wasiat dalam perjalanan, kepada siapa tidak
diperbolehkan wasiat, bagi siapa wasiat tidak berlaku, wasiat wajibah bagi
orang tua angkat dan besarnya, dan wasiat wajibah bagi anak angkat serta
besarnya.
Penjelasan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi tentang hibah sebagai:
“pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau
badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”
Hibah juga
tidak diregulasi secara rinci dalam Undang-Undang a quo. Ia secara garis besar
diatur dalam KHI, dengan menempati bab VI, dan hanya diatur dalam lima pasal.
Secara garis besar pasal-pasal ini berisi: Subjek hukum hibah, besarnya hibah,
di mana hibah dilakukan, harta benda yang dihibahkan, hibah orang tua kepada
anak, kapan hibah harus mendapat persetujuan ahli waris, dan hibah yang
dilakukan di luar wilayah Republik Indonesia.
E. Wakaf
Wakaf dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dimaknai sebagai: “perbuatan
seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.” Tentang wakaf ini tidak dijelaskan secara
rinci dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan
lebih luas tercantum dalam KHI, Buku III, Bab I hingga Bab V, yang mencakup 14
pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur: Ketentuan umum, yaitu definisi wakaf,
wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf; fungsi
wakaf; subjek hukum yang dapat mewakafkan harta bendanya; syarat benda wakaf;
prosedur mewakafkan; syarat-syarat nadzir; kewajiban dan hak-hak nadzir;
pendaftaran benda wakaf; perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf.
Khusus mengenai perwakafan tanah milik, KHI tidak mengaturnya. Ia telah
diregulasi empat tahun sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977,
lembaran negara No. 38 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
F. Zakat
Zakat
adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau badan hukum yang
dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya. KHI tidak menyinggung pengaturan zakat.
Regulasi
mengenai zakat telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
Lembaran Negara Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis
besar, isi Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk campur
tangan dalam bidang zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan
pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan zakat;
organisasi pengelolaan zakat; pengumpulan zakat; pendayagunaan zakat;
pengawasan pengelolaan zakat; dan sanksi terhadap pelanggaran regulasi
pengelolaan zakat.
G. Infaq
Infaq dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan dengan: “perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlash, dan karena
Allah Subhanahu Wata’ala.”
Kewenangan
Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini juga tak diatur lebih
lanjut.
H. Shadaqah
Mengenai
shadaqah diartikan sebagai: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi
oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah dan pahala semata.”
Sama
seperti infaq, shadaqah juga tidak diatur dalam regulasi khusus. Dan hingga
kini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
I. Ekonomi
Syari’ah
Ekonomi
syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah.” Kewenangan itu antara lain :
- Bank Syari’ah;
- Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah;
- Asuransi Syari’ah;
- Reasuransi Syari’ah;
- Reksadana Syari’ah;
- Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah;
- Sekuritas Syari’ah;
- Pembiayaan Syari’ah;
- Pegadaian Syari’ah;
- Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah; dan
- Bisnis Syari’ah.[1]
Ditambah pasal 52 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berbunyi Pengadilan dapat memberikan keterangan,
pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di
daerah hukumnya, apabila diminta dan Selain tugas dan kewenangan sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan
kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
Serta Pasal 52 A Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama Pengadilan
agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada
tahun Hijriyah
Sedangkan
Mahkamah Syar’iyah berdasarkan Undang-Undang
No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh. Pasal 25
ayat 1 menyebutkan, Peradilan Syari’at Islam di Aceh bagian dari sistem
peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah dan Berdasarkan Pasal 128 Undang-Undang No. 11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, bahwa Peradilan Syari’at Islam di Aceh bagian
dari peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh
Mahkamah Syar’iyah.
Mahkamah
Syar’iyah selain berwenang mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang
peradilan agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1979 dan
Undang-Undang No. 3 tahun 2006, juga berwenang mengadili perkara jinayat diatur
dalam Qanun dan pelimpahan sebagian wewenang Peradilan Umum ke Mahkamah
Syar’iyah di Provinsi Aceh SK Ketua Mahkamah Agung No. KMA/70/SK/X/2004.
Kewenangan mengadili, bidang ahwal al-syakhsiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana).[2]
Dari semua kewenangan Pengadilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyah di atas seluruhnya merupakan
bagian dari Hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadis. Selaras dengan berfirman Allah Swt, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di
sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).
Dan dengan Hadis Nabi yang berbunyi :
الإسلام يعلو ولا يعلى
"Al islaamu ya’lu wa la yu’la."
Artinya: “Islam itu tinggi dan
tidak ada yang lebih tinggi darinya,” (HR. Ad-Daruquthni (III/ 181 no. 3564),
tahqiq Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abdul Maujud dan Syaikh ‘Ali Mu’awwadh, Darul
Ma’rifah, th. 1422 H) dan al-Baihaqy (VI/205) dari Shahabat ‘Aidh bin ‘Amr
al-Muzany Radhiyallahu anhu. Lihat Irwaa-ul Ghalil (V/106 no. 1268) oleh Syaikh
al-Albany rahimahullah).[3]
Dengan sumber lain yang berbunyi : “ Islam itu
agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari pada Islam.” (HR.
Baihaqi).[4]
Perjalanan
kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan
kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang
ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi
dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali
mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan
masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.
Sebelum
Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum
yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat
maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang
pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya
masing-masing.[5]
Di
uraian diatas dapat disimpulkan Peradilan
Agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada
masyarakat, walaupun baru-baru ini ada upaya-upaya mengecilkan kedudukan Pengadilan
Agama/ Mahkamah Syar’iyah seperti dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah.
Namun demikian Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah itu tetap tinggi karena melaksanakan Hukum Islam, sebagimana
tingginya Islam itu sendiri.