Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai ormas telah
dinyatakan dibubarkan dan tak boleh lagi beraktivitas berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang
pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang
pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. Apalagi Gugatan HTI yang
menggugat Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun
2017 pada pengadilan tingkat pertama dan banding Tata Usaha Negara telah ditolak
berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
211/G/2017/PTUN-JKT, tanggal 7 Mei 2018 dan Putusan PT TUN Jakarta nomor 196
B/2018/PT.TUN.JKT tanggal 19 September 2018.
Namun walaupun sudah dibubarkan terjadinya
kasus pembakaran bendera Tauhid oleh oknum Banser Garut, Jawa Barat akibat kesalahfahaman, cukup
menjadi pelajaran. Lambang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berbeda dengan Bendera
Tauhid. Berdasarkan keterangan Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum)
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Soedarmo menyatakan, di dalam bendera
HTI, terdapat tulisan 'Hizbut Tahrir Indonesia' di bawah kalimat tauhid.
Sedangkan bendera tauhid biasa berupa bendera yang berisi tulisan kalimat
tauhid. Yang di kutip dalam link https://news.detik.com/berita/4269213/ini-beda-bendera-hti-dengan-bendera-berkalimat-tauhid.
Dan juga disebutkan dalam AD/ART HTI BAB IX
pasal 26 tentang lambang, yakni disebutkan : “Perkumpulan ini berlambang
“bendera laa ilaha ilallah Muhammadur Rasulullah” di atas dasar warna hitam dan
atau putih, di bawahnya bertuliskan “HIZBUT TAHRIR INDONESIA”. Yang dapat di
lihat dalam link https://mediaumat.news/framing-bendera-hti-oleh-media/.
Sedangkan
bendera Tauhid yakni Bendera yang berwarna hitam dengan lafadz tauhid
لا اله الا الله محمد رسول الله disebut dengan Ar Royyah,
sedangkan bendera yang berwarna putih yang juga ada lafadz tauhid لا اله الا الله محمد رسول الله disebut al
liwa’.
Hal ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Ibnu
‘Abbas ra, yang berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ –صلعم- كَانَتْ رَايَتُهُ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ
“Rayahnya (panji peperangan) Rasul saw berwarna hitam, sedangkan
benderanya (liwa-nya) berwarna putih.” (HR at-Tirmidzi, Ibn Majjah, at-Thabrani)
Ibnu Abbas ra juga menyatakan:
«كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ»
“Panji (râyah) Rasulullah saw. berwarna hitam dan benderanya
(liwâ’) berwarna putih; tertulis padanya: Lâ ilâha illalLâh Muhammad
RasûlulLâh.” (HR ath-Thabrani).
Walaupun kualitas hadist berbeda ada Muhadistin
berpendapat shahih, hasan atau dhoif namun secara materi panji Rasulullah itu
ada. Jadi Lambang/Bendera HTI berbeda dengan Bendera Tauhid, kita tidak boleh alergi dan phobia terhadap bendera tauhid. Namun dalam konteks bernegara tidak perlu bendera tauhid di bawa-bawa, Tauhid cukup dalam hati dan perbuatan karena dalam politik kita telah menyatu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Islam telah menyifati Bangsa Indonesia. Umat Islam Indonesia memiliki saham terbesar di bangsa Indonesia. ( Jambi, 24 Oktober 2018 ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar