Kamis, 10 Mei 2012

ANALISA SEJARAH SEMENGUK BUGIS KOTA NEGARA MARGA BUNGA MAYANG SUNGKAI ( DARI BUGIS-WAY TULANG BAWANG )


Sejarah Bugis Kota Negara
Berdasarkan hasil wawancara tentang sejarah Bugis Kota Negara  dengan Tokoh-tokoh tiyuh Kota Negara Seperti  Suntan Ratu Semenguk  dll bahwa Bugis Kota Negara Berasal Dari Kerajaan Wajo - Sulawesi Selatan yang datang sekitar Abad ke-16 Masehi, kenapa dan  bagaimana bisa sampai di Tiyuh Kota Negara  dibawah ini akan dibahas sedikit analisa yang penulis kumpulkan melalui beberapa sumber baik wawancara, Internet ataupun kunjungan kelapangan seperti  Makam, bangunan dll  yang akan dibahas secara lebih rinci di bawah ini.
Photo Pabbicara Kerajaan Bugis












Photo Pabbicara Kerajaan Bugis
Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Keberadaan Bugis yang ada diTiyuh Kota Negara Marga Bunga Mayang Sungkai tidak Luput dari sejarah Bangsa Bugis itu sendiri sebagai pengarung Samudra yang handal.
A.    SEJARAH AWAL MULA BANGSA BUGIS
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

B.     PERKEMBANGAN
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)
C.    https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8VTUq2fJLLcE3yETkuLuaQNtGz9L-hn1PjX9UzTfM-7ZsuyKtf5IJDevvqZilomb3TZQE3UsOdBFXpgrY5gIgSPH0wUb33n3LPkQtAElkcFXLEKOe8rPdlxR9Oe7_oPqIg6WL2fYeMyE/s320/wajo2.png
Kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi.

 
KERAJAAN WAJO





                LOGO  WAJO
Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing : La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo. Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo.
Yakni tepatnya Pada tahun 1476, dibawah dua pohan asam yang berdampingan, di maklumatkanlah perjanjian yang dikenal dengan nama Mallamungpatue ri Lapadeppa. Selain menetapkan hukum pemerintahan, perjanjian tersebut juga menetapkan adek amaradekangenna to WajoE, seperti berikut :
1.      Kehendak orang Wajo tidak bisa dihalangi.
2.      Orang Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat
3.      Orang Wajo tidak boleh dilarang pergi ke Selatan, Utara, Barat ataupun Timur
4.      Jika orang Wajo hendak bepergian atau bermigrasi maka tidak boleh diatahan.
5.      Orang Wajo tidak berkewajiban melakukan perbuatan atau perintah yang tidak memiliki dasar hukum adatnya.
6.      Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo.
7.      Orang Wajo, harus senantiasa menjaga prilaku dan sopan santun.
8.      Orang tidak diperkenankan melanggar hak-hak orang lain, ia harus tahu diri, dan mengenali diri sendiri, serta tidak boleh menyalahgunakan hak-hak kemerdekaan mereka.
Selanjutnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negeri Wajo adalah sebuah negeri yang sangat unik, ia tidak mengenal sistem pemerintahan yang otokratis, melainkan demokratis. Pemerintah dan rakyat Wajo, memahami bahwa Kerajaan Wajo adalah kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh pemerintah dan rakyat. Seorang Raja tidaklah diangkat secara turun temurun, melainkan ditunjuk dan kemudian diangkat oleh dewan adat yang disebut Arung Patappuloe (Dewan Adat yang beranggotakan 40 Orang).
D.    KONFLIK ANTAR KERAJAAN
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut "tellumpoccoe".
E.     SEBAB HIJRAH/MERANTAU DARI WAJO
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC, kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan sebagaimana selogan kerajaan Wajo “MARADEKA TO WAJOE TARO PASORO GAU’NA, NAISSENG ALENA, ADE’NA NAPOPUANG” yang artinya Orang Wajo itu Merdeka dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya, mereka tahu diri, dan hanya adatlah yang dijadikan anutan.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimal4ZVmeeqDBEAkLrUm5i1aTlLkG1HAFPw9ldLTiZDYd-xqfjWyF4Ur85qbnR7JEMpNnbLoFRC5ZJWnI6IlKIfLaEeys4EnJG7nrQYRSv1LVacguufdoHT75dUukYls2D6J9pS4dqGMQ/s320/wajo1.jpg


      Gambar Rumah Adat Wajo

F.     BEBERAPA ANALISA DARI SUMBER SEJARAH TENTANG BANGSA BUGIS PASCA PERJANIAN BONGAYA.
a.      Membangun Komunitas Sosial Ekonomi Di Daerah Rantauan
1.     Wajo di Kalimantan

Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau  membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Kemudian lagi sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
2.    Wajo di Sumatera dan Semenanjung Malaysia
Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang merupakan keturunan Makassar.

b.      Perampok
Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.
c.       Serdadu Bayaran
Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand. Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.
G.    Analisa Bugis Bisa Sampai diKota Negara - Buay Semenguk Marga Bunga Mayang Sungkai.










a.       Keadaan Way Tulang Bawang
Pada tahun 1552 Maulana Hasanuddin memimpin pemerintahan Islam di banten. Berita kemajuan Islam di Banten sampai kepada kepala adapt/ penyimbang dari masyarakat Lampung. Hal ini menarik perhatian keluarga-keluarga Lampung terutama bagi mereka yang telah mnganut agama Islam aliran Syiah yang mereka warisi dari nenek moyang mereka di Skala Brak yang berasal dari Samudera Pasai Via Pagaruyung.

Mereka melakukan seba untuk memperdalam ajaran Islam dengan membawa hasil bumi seprti lada. Hal ini berarti mengakui kekusaan Banten walaupun pemerintahan dalam daerah diatur sendiri secara adat.

Para utusan yang ke Banten diakui oleh Sultan sebagai kepala adapt masing-masing kebudayaan. Oleh Sultan pengakuan ini dicantumkan dalam lembaga resmi kesultanan (Book Dalung) dan diberi gelar Pangeran.

Untuk dakwah agama Islam Sultan mengutus keluarga kesultanan yang pandai agama disamping melaksananak pembelian lada. Untuk jual beli lada dipusatkan di Menggala. Sebagai bandara penjualan lada Menggala menjadi ramai dikunjungi orang terutama pedagang seperti orang Portugis, Belanda, Cina, Arab, Persia disamping orang Riau, Johor, Bugis, palembang dan Banten.

Tahun 1570 di zaman Maulana Yusuf Banten memerintahkan rakyat Lampung sebagai berikut :

Bagi orang laki-laki yangsudah berkeluarga diharuskan menanam lada sebanyak 1000 pohon yang masih bujangan 500. hasilnya harus dijual kepada Banten. Untuk ini Sultan Maulana Yusuf mengankat Jenjem pertama di Lampung sebagai wakil Sultan Banten dalam perdagangan hasil bumi terutama lada. Disamping itu juga diperjual belikan hasil hutan seperti Damar., Rotan dan lain-lain. Jenjem pertama kali diangkat ialah :

I. Denten Teladas Tulang Bawang :
1. Ki Ngabehi Jaga Pati
2. Ki Ngabehi Jagantaka

II. Semangka :
1. Pangeran Purbanegara
2. Depati Rayanegara

III. Way Seputih :
1. Ki Arya Cendrasana
2. Depati Suralaga di Pened

IV. Pesisir :
1. Ki Arya Wiraraja
2. Depati Natanegara

Keadaan di sepanjang Tulang Bawang lebih-lebih di muara Tulang Bawang tidak sama karena banyak bajak laut dan perampok. Bajak Laut dari Riau sangat terkenal dengan pemimpinnya yang disebut Raja Dilawok dimana mereka mendirikan perkampungan di daerah penawar dekat Gedong Aji, sedangkan orang Bugis dipimpin oleh Daeng Raja.

Sungai Tulang Bawang pada waktu itu menjadi ajang pertempuran antara orang Buay Tegamoan, Buay Bulan, Buay Aji dengan Bajak Laut dari negeri Cina, Lingga dan Bugis. Yang lebih menyedihkan sebagian dari penduduk Gedong Aji, Gedong Meneng, Gunung Tapa, Gunung Besar, Mecaksa dan Teladas habis terbunuh oleh Bajak Laut.

Rakyat Tualang Bawang mendapat bantuan dari armada Ibnu Iskandar dari Minangkabau dan berakhir dapat dihancurkan oleh Bajak Laut Cina. Banyak pemimpin dari Buay Tegamoann Aji dan Bulan tebunuh oleh bajak laut seperti Minak Rio Sakti dari Buay Bulan Tiyuh Kibang, Minak Rio Besano dari Buay Aji Tiyuh Kota Karang. Minak Rio Sakti di makamkan di Kibang Tebing Suluh dekat Pagar Dewa kemudian disusul oleh armada dari Sultan Malaka dibawh pimpinan anak Sultan Malaka sendiri bernama Pangeran Mansyursyah yang lebih dikenal Datuk Raja Malaka. Mereka baru datang dari sungai Musi membantu peperangan orang Kayu Agung Komering Ilir melawan bajak laut. Seusai perang dengan bajak laut di Tulang Bawang, datuk Raja Malaka menikah dengan puteri Anom keturunan Tuan Rio Mangkubumi Tuho Pagar Dewa atas persetujuan Sultan Malaka Setole.

Tak lama kemudian daerah Tulang Bawang menjadi prebutan antara Sultan Banten dan Sultan Palembang. Sedangkan rakyat Lampung sebagian besar mengakui kesultanan Banten terkecuali orang-orang sekitar daerah Way Komering mengakui kesultanan Palembang.

Pada tahun 1596 – 1608 terjadilah peperangan antara Banten dan Palembang. Banten menbdapat bantuan dari Tulang Bawang dibawah pimpinan Minak Rio Mangkubumi Pagar Dewa Tuho Buay Tegamoan. Peperangan ini diakhiri terbunuhnya Maulana Muhammad Banten dan Minak Rio Mangkubumi di Palembang.

Tahun 1682 oleh Sultan Haji kedudukan Jenjem di Teladas dipindahkan sementara di Pagar Dewa. Tahun 1684 seluruh penyimbang marga Lampung melakukan perdagangan dengan V.O.C di Bandar Menggala Way Tulang Bawang. Perdagangan langsung leh V.O.C akibat yulah Ratu Fatimah isteri Sultan Banten yang ikut campur dalam pemerintahan dalam kesultanan Banten. Untuk mengawasi jual beli hasil bumi di Menggala V.O.C mendirikan Loji dan meresmikan Bandar Menggala sebagai pusat jual beli hasil bumi di Tulang Bawang. Padahal sejak zaman Sultan Maulana Hasanudin tahun 1555 jual beli hasil bumi dilakukan disepanjang Way Tulang Bawang melalui Tanggo Rajo setiap kampung sebagai Bandar kecil milik setiap penyimbang di dalam tiyuh-tiyuh sepanjang Way Tulang Bawang. Barulah pada tahun 1684 V.O.C meresmikan Bandar Menggala serta Loji guna kepentingan V.O.C.

Tahun 1668 V.O.C mendirikan benteng Petrus Albertus di Menggala tepatnya di kampung ujung Gunung Menggala, tetapi tidak berumur lama benteng tersebut dapat di hancurkan oleh rakyat Menggala.

Tahun 1662-1706 pertikaian antara Palembang dan Banten hampir meletus lagi, hal ini disebabkan beberapa kerabat dari Abung dan Tulang BAwang menghadap Raden Aria Putera Sultan Palembang agar ikut terlibat persoalan mengenai daerah Tulang Bawang, yang mengakibatkan pada tahun 1734 Tulang Bawang serta Bandar Menggala jatuh ketangan Palembang. Untuk memperkuat pertahanan V.O.C membangun kembali benteng Petrus Albertus Muda di Menggala.


Akibat Bandar Menggala dan Daerah Tulang Bawang dapat dikuasai oloeh Sultan Palembang., secara diam-diam Sultan Abdul Fathi Muhammad Syifai Zainal arifin Banten memperkuat armada perangnya untuk merebut kembali Tulang Bawang.

Armada Perang Banten dan Palembang tahun 1773 berhantam kembali di sungai Tulang Bawang dan diamankan V.O.C dibawah pimpinan Reiner De Klerk. Akibat dari kericuhan ini pada trahun 1738 Penyimbang Abung menboikot V.O.C dan melakukan pemasaran lada ke Palembang melalui Way Komering, akibatnya V.O.C mendirikan benteng VALKEN OOG di Kerbang Bumi Agung way Kanan.


b.      jjk










H.    JJJJ









H




           

1 komentar:

  1. referensi tulisan ini darimana bro???.menurut tesis tesis yang saya telah baca,Kerajaan Luwu kuno itu ada di wotu, Kab. Luwu timur sekarang. bukannya di luwuk(banggai). sekedar koreksi bro......dan lagi yang membuat kitab La Galigo itu bukanlah La Galigo.Sampai sekarang say juga belum dapat referensi tentang siapa pembuat sureq itu. Dinamakan Sureq Galigo karena yang paling banyak diceritakan di dalamnya adalah tentang La Galigo anak dari Sawerigading (Ale luwu) dan We Cuday (Ale cina).

    BalasHapus