BAB IV
ANALISIS
- Analisis Jihad Menurut Pandangan Ulama’ Klasik
dan Ulama’ Kontemporer
Ulama’ yang merupakan pewaris
para Nabi dan ahli agama serta
senantiasa taat kepada Allah, yang selalu mengajarkan kepada segenap manusia
berbagai pengertian tentang agamanya. Tidak
diragukan lagi bahwa jihad dalam arti berperang di jalan Allah merupakan
kewajiban. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW di dalam sabdanya “ Pokok
urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak tertinggi adalah Jihad
“. ( HR. Ahmad, At Tirmidzi, Ibnu Majah )[1]
Sejarah telah mencatat dengan tinta
emas berbagai macam jihad dan pertempuran yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW
dan para sahabatnya dalam memerangi orang-orang kafir. Secara literal, jihad
adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh " kemampuan ", sedangkan
menurut pengertian syari’at, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan
tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan.
Allah
SWT juga menyebutkan di dalam Al Qur’an tentang keutamaan-keutamaan Al Jihad di
banyak ayat-Nya, di antaranya :
*
¨bÎ) ©!$#
3utIô©$# ÆÏB úüÏZÏB÷sßJø9$# óOßg|¡àÿRr& Nçlm;ºuqøBr&ur cr'Î/ ÞOßgs9 sp¨Yyfø9$# 4
cqè=ÏG»s)ã Îû È@Î6y «!$#
tbqè=çGø)usù
cqè=tFø)ãur
(
#´ôãur Ïmøn=tã $y)ym Îû Ïp1uöqG9$# È@ÅgUM}$#ur
Éb#uäöà)ø9$#ur 4
ô`tBur 4nû÷rr& ¾ÍnÏôgyèÎ/ ÆÏB
«!$# 4 (#rçųö6tFó$$sù
ãNä3Ïèøu;Î/ Ï%©!$# Läê÷èt$t/ ¾ÏmÎ/
4
Ï9ºsur
uqèd ãöqxÿø9$# ÞOÏàyèø9$# ÇÊÊÊÈ
Artinya : “ Sesungguhnya Allah Telah membeli dari
orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu
Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran.
dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah
kemenangan yang besar “ ( QS. At-Taubah : 111 ).
Mayoritas ulama’ fiqh sepakat jihad diwajibkan dalam Islam. Hukum wajib
dalam jihad pun ada yang fardhu kifayah dan fardhu ain. Mengenai fardhu
ain dalam jihad tidak ada perselisihan , yaitu jihad perlawanan ( defensif
). Dengan kata lain, jihad untuk mengusir penjajah serta membebaskan negeri dan
penduduk Islam dari penjajah.akan tetapi, yang menjadi perselisihan adalah
jihad dalam bentuk fardhu kifayah, yaitu jihad yang disebut oleh ahli fiqh
sebagai fiqh penyerangan ( ofensif ). Sebagai mana pendapat Imam Abu
Hanifah bahwa hukum jihad adalah wajib sampai hari kiamat. Yakni jihad
penyerangan dan melakukan penyerangan ke negeri-negeri musuh.[2]
Sebagaimana juga di tambahkan oleh ulama’ Hanafiyah Al-Jashshash
menyebutkan sebagaimana diketahui oleh seluruh umat Islam, apabila penduduk
suatu negeri takut terhadap serangan musuh dan tidak memiliki kekuatan untuk
melawan sehingga khawatir terhadap negeri, diri sendiri dan anak-anak mereka,
maka seluruh umat wajib menghadang musuh agar tidak memusuhi umat Islam.[3] Imam Abu Bakar Al-Razi ( Al-Jashshash )
menjelaskan hal tersebut bahwa jihad adalah sunah bukan wajib. Ulama’
Syafi’i menerangkan jihad dalam arti fardhu kifayah pun bisa terealisasi
dengan cara pemimpin dan para wakilnya masuk ke negeri musuh dengan membawa
pasukan untuk melakukan peperangan. Ini berarti bahwa untuk merealisasikan fardhu
kifayah, umat Islam harus memiliki kekuatan tentara yang tangguh, ditakuti,
memiliki senjata mutakhir, dilatih secara professional dan menyebar kekuatan
disetiap tempat baik darat, mauupun laut. Setiap titik tidak boleh kosong dari
kekuatan militer dan alat-alat untuk melakukan proteksi.dengan demikian, musuh
akan takut dan tidak akan berfikir untuk menyerang umat Islam.
Ibnu Al-Qayyim berpendapat : Ketika datang ke Madinah, Nabi SAW berdamai
dengan orang-orang Yahudi dan membiarkan agama mereka. Akan tetapi, ketika
mereka memerangi beliau dan melanggar perjanjian yang sudah disepakati, beliau
pun memerangi mereka. Hal yang sama terjadi ketika beliau berdamai dengan kaum
Quraisy selama sepuluh tahun. Nabi SAW tidak pernah memulai memerangi mereka
hingga mereka yang lebih dahulu memerangi beliau dan melanggar janji. Pada saat
itulah Nabi SAW, memerangi mereka di negeri mereka. Padahal sebelumnya, mereka
yang lebih dahulu memerangi beliau.[4]
Jihad adalah fardhu ain, baik dilakukan denga hati, lisan, harta atau
tangan. Setiap Muslim harus melakukan salah satu jenis jihad tersebut. Jihad
dengan nyawa adalah fadhu kifayah. Adapun jihad dengan harta adalah
wajib.
Menurut hemat penulis jihad menurut pandangan ulama' klasik memiliki
makna yang luas tidak hanya berarti perang tetapi semua perbuatan seorang
Muslim dalam menahan kesusahan atau kepayahan dalam meninggikan agama Allah
dengan tingkatannya dan yang tertinggi yakni jihad dalam arti perang ( qital
). Jihad merupakan kewajiban bagi
seorang Muslim apakah nantinya fardhu ain ataupun kifayah.
Sedangkan jihad menurut ulama’ kontemporer yakni menurut Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar
dan Sayyid Quthub dalam Tafsir
Fi Zhilal Qur’an makna jihad tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 218, Al-Maidah : 35, Al-Anfal
: 72 dan At-Taubah : 16 dan 19.
- Q.S. Al-Baqarah
: 218
¨bÎ)
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
z`É©9$#ur
(#rãy_$yd
(#rßyg»y_ur
Îû
È@Î6y
«!$#
y7Í´¯»s9'ré& tbqã_öt
|MyJômu
«!$#
4
ª!$#ur
Öqàÿxî
ÒOÏm§
ÇËÊÑÈ
. Artinya : “ Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah,
mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang ”
Ditinjau
dari kategori periode turunnya al-Qur’an, ayat tersebut termasuk ayat Madaniyyah.
Dari segi turunnya ayat, menurut Jarir dari Jundub bin Abdullah bahwa
Rasullullah SAW mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Abdullah bin Jahsy.
Mereka berpapasan dan bertempur dengan pasukan musuh yang dipimpin oleh
al-Hadhrami, terbunuhlah kepala pasukan musuh. Pada waktu itu tidak jelas
apakah bulan Rajab, Jumadil awal atau Jumadil akhir. Orang-orang Musyrik
menghembuskan berita bahwa kaum Muslimin berperang di bulan haram. Kaum
Muslimin di Madinah berkata : perang mereka dengan pasukan Ibnu al-Hadhrami
mungkin tidak berdosa, tetapi juga tidak akan mendapat pahala. Maka Allah
menurunkan ayat tersebut diatas. Menurut Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar, ayat tersebut
menjelaskan imbalan orang beriman, berhijrah dan berjihad.[5] Lafal jihad, mujahadah
berasal dari akar jahd, yakni al-masyaqah, ” jerih payah”,”
usaha”,”kesukaran”. Tidak khusus berupa qital ( perang ).
Orang
Mukmin berhijrah dan berjihad untuk membela kebenaran, mencurahkan jerih payah
menghadapi orang kafir. Mereka mengharap rahmat Allah dan kebaikan-Nya. Allah maha
luas maghfirah-Nya bagi orang yang bertaubat, agung rahmat-Nya bagi
orang yang berbuat kebajikan. Bagi mereka yang berhijrah dan berjihad, Allah
pasti mengampuni, melimpahkan rahmat, keridhaan dan sebaik-baik tempat kembali. Muhammad Rasyid Ridha menggaris
bawahi makna jihad, dari akar kata jahd yang artinya ” jerih payah,””
kesukaran”. Jihad mencakup segala jerih payah dan usaha untuk membela
kebenaran demi mengharapkan rahmad Allah dan kebaikan-Nya. Dalam rangkaian
dengan perintah jihad, hijrah juga harus dilakukan kapan saja dan di mana saja
mereka berada, jika keadaan menghendaki.
Sedangkan
Sayyid Quthub dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an menekankan arti jihad dalam ayat
tersebut pada perang untuk mewujudkan kemenangan atau kesyahidan.[6] Orang – orang yang terpuruk secara spiritual dan
intelektual dari kalangan yang menulis tema jihad dalam Islam, untuk
membentengi Islam dari tuduhan-tuduhan negatif, telah mencampuradukkan antara
manhaj Islam yang mengingkari pemaksaan dalam berakidah, dan manhaj Islam dalam
menghancurkan kekuatan politik dunia. Suatu kekuatan yang memisahkan antara
manusia dan agama, memaksakan manusia untuk menghambakan diri kepada Allah.
Ayat
Jihad tersebut merupakan bagian dari rangkaian ayat tentang perang Uhud. Dalam
Tafsir al- Manar, Muhammad Rasyid Ridha berpendapat jihad dalam ayat ini lebih
umum maknanya daripada perang untuk mempertahankan agama, membela pemeluknya dan
menegakan kalimat Allah. Ayat tersebut menyatakan bahwa orang beriman tidak
akan masuk surga sebelum berjihad dijalan kebenaran. Lafal jihad dalam kitab dan
sunah menurut tafsir ini digunakan dalam pengertian lughah, yakni
menanggung kesulitan dalam menghadapi kekerasan, jihad an–nafs (
perjuangan menghadapi diri ) yang diriwayatkan dari kalangan salaf dengan
sebutan jihad akbar, misalnya perjuangan seseorang menghadapi nafsu syahwatnya,
perjuangan lain melawan kebathilan dan membela kebenaran.[7]
Dalam,
menafsirkan ayat tersebut, sekalipun konteks jihad dalam ayat itu perang, namun
Rasyid Ridha menekankan keumuman Jihad yang tidak hanya perang. Sedangkan Sayyid
Quthub menerangkan bahwa jihad di medan
perang merupakan beban paling ringan yang membutuhkan kesabaran sabagai ujian
keimanan. Jihad di medan perang adalah salah satu dan segala jihad yang harus
dihadapi sepanjang hidup. Jalan kesurga tidak dapat dicapai dengan angan-angan dan
ucapan lisan belaka.[8] Sayyid Quthub menggaris
bawahi bahwa ” perang salah satu jihad
sepanjang hidup ”.
- Al-Maidah :
35
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qà)®?$#
©!$#
(#þqäótGö/$#ur
Ïmøs9Î)
s's#Åuqø9$#
(#rßÎg»y_ur
Îû
¾Ï&Î#Î6y
öNà6¯=yès9
cqßsÎ=øÿè?
ÇÌÎÈ
Artinya : “ Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan ”.
Muhammad
Rasyid Ridha menyatakan bahwa perintah jihad di jalan Allah dalam ayat diatas
maksudnya agar Mukmin berjuang menghadapi diri sendiri dengan mencegahnya dari
dorongan hawa nafsu dan mendorongnya mengikuti jalan Allah dalam segala hal,
berjuang menghadapi musuh-musuh Islam yang menentang dakwah dan petunjuknya
untuk umat manusia.[9]
Setiap usaha, jerih payah dan kesukaran yang ditanggung manusia dalam membela dan
mempertahankan kebenaran, kebaikan, dan keutamaan atau dalam membela dan
mempertahankan kebenaran, kebaikan da keutamaan atau dalam rangka memantabkan dan
membawa manusia kearahnya dalam jihad fi sabilillah.
Setiap
Mukmin harus waspada terhadap apa yang harus ditinggalkan dan mengusahakan
segala yang harus dilakukan sebagai jalan mencapai ridha Allah dan pendekatan
kepada-Nya, tabah menanggung kesulitan dan jerih payah di jalan-Nya dan
mengharap keberuntungan dan kemenangan serta kebahagiaan dalam kehidupan di
dunia dan akhirat.
Dalam
menafsirkan ayat diatas Muhammad Rasyid Ridha secara eksplisit menyatakan bahwa
Jihad yang dimaksud oleh ayat itu mencakup dua hal, yakni jihdun-nafs,
berjuang menghadapi diri sendiri, dan jihad menghadapi musuh Islam yang
menantang dakwah dan petunjuknya. Sedangkan Sayyid Quthub menulis, Allah SWT
menanamkan rasa takwa di dalam hati nurani dan menolong orang-orang beriman
mencari wasilah kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya dengan
mengharapkan keberhasilan.[10] Pada diri Mukmin harus tertanam rasa takut
kepada Allah yang menghentikan dari keburukan, dalam keadaan tak terlihat siapa
pun dan tak terjangkau tangan hukum.
Sayyid
Quthub menekankan jihad untuk menghentikan keburukan. Ayat tersebut menekankan
dua bentuk jihad sekaligus, yakni jihadun-nafs untuk memperoleh
ketakwaan dan jihad memerangi musuh agar memperoleh kemenangan.[11]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar