Kamis, 10 Mei 2012

JIHAD MENURUT Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Quthub, dan Yusuf Qaradhawi


BAB III
JIHAD MENURUT PANDANGAN
ULAMA’ KLASIK DAN ULAMA’ KONTEMPORER

A.    Jihad Menurut Pandangan Ulama’ Klasik

      (Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah).

            Penulis beralasan mengambil sampel tiga ulama' diatas mewakili periode ulama' klasik selain dari segi waktu hidupnya, penulis juga beralasan untuk Imam Abu Hanifah mewakili ulama' ra'yu ( Baghdad ) di tambah beliau masih tergolong tabi'in, Imam Syafi'i merupakan ulama' yang menggabungkan antara ra'yu dan nash atau dengan kata lain ulama' antara Madinah dan Iraq sedangkan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah penulis beralasan sebagai ulama' pertengahan atau peralihan mendekati keruntuhan Bani Abbasiyah yang memiliki keluasan ilmu.      
    1. Imam Abu Hanifah
a.      Biografi Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kota Kufah pada tahun 80 Hijriyah bertepatan tahun 699 Masehi. Imam Hanafi sebenarnya sejak kecil bernama Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah.[1]
Ayah beliau berasal dari keturunan dari bangsa Persi (Kabul-Afghanistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Dengan ini teranglah bahwa sebenarnya beliau bukan berasal dari keturunan bangsa Arab asli, tetapi berasal dari bangsa Adjam (bangsa selain Arab) dan beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga bangsa Persi.[2]
Pada masa beliau dilahirkan, pemerintahan Islam masih dalam kekuasaan Abdul Malik bin Marwan ( Raja dari keturunan Bani Umayyah ke V). Nama Imam Abu Hanifah sebenarnya  merupakan gelar yang diberikan oleh para pengikutnya yang berada di Kufah. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Abu Hanifah merupkan gelar yang di ambil dari nama putranya yang bernama Hanifah, maka beliau oleh orang-orang diberi gelar Abu Hanifah. Dalam riwayat yang lain , sebab beliau mendapat gelar Abu Hanifah , karena beliau adalah orang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah SWT dan sungguh-sungguh melakukan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan “Hanifah”  menurut lughat Iraq artinya “dawat” atau “tinta” . Sebab beliau di mana-mana selalu membawa tinta guna menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh  dari para guru beliau atau lainnya. Dengan demikian, karena cintanya beliau terhadap tinta beliau oleh orang-orang di Kufah digelari Abu Hanifah yang berarti bapak tinta.[3]
Imam Abu Hanifah sejak kecil sudah mulai cinta dengan pengetahuan, terutama dengan pengetahuan yang berhubungan dengan hukum-hukum agama Islam. Oleh karena beliau adalah putra seorang saudagar besar di kota Kufah, maka sudah tentu beliau mendapat kelapangan dan jarang kekurangan. Oleh karena itu, kelapangan yang beliau miliki tersebut dipergunakan sebaik-baiknya untuk menuntut dan mempelajari ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya sampai masa dewasa.
Sejak kecil beliau sebagaimana anak-anak yang berada di negeri Kufah, dan beliau mulai belajar membaca Al-Qur’an serta menghafalnya. Ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga pedagang kain sutera dan keluarga yang taat melaksanakan ajaran Islam.[4]
Faktor yang mendorong dan mempermudah Imam Abu Hanifah untuk belajar mendalami Agama Islam dan ilmu pengetahuan lainnya, yaitu :
a.       Dorongan dari keluarganya, sehingga Imam Abu Hanifah dapat memusatkan perhatiannya dalam mempelajari atau mendalami ajaran Islam atau ilmu pengetahuan yang lainnya, termasuk mempelajari bahasa Arab.
b.      Keyakinan yang mendalam tentang agama yang mendalam di kalangan keluarga.
c.       Kekaguman terhadap tingkah laku dan ilmu pengetahuan yang dimiliki Sayyidina Ali, Umar dan Abdullah bin Mas’ud. Kekaguman beliau didapat dari cerita yang diberikan oleh kakeknya yang sangat terkesan dengan perjumpaannya dengan Sayyidina Ali, hal itu selalu diceritakannya kepada anak cucunya, termasuk kepada Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah selalu mencontoh perbuatan Ali, hal itu terlihat pada jalan pikirannya dikemudian hari.
d.      Kedudukan kota Kufah, Basrah dan Baghdad sebagai kota ilmu pengetahuan dan filsafat yakni kota tempat tinggalnya.
e.       Kota Kufah, Basrah dan Baghdad juga merupakan pusat ilmu pengetahuan Agama Islam.[5]
Ada empat sahabat Rasul yang sangat berkesan bagi Imam Abu Hanifah dan yang ikut mempengaruhi pokok-pokok pikiran dan jalan pikiran dari Imam Abu Hanifah. Keempat sahabat tersebut adalah:
a.       Umar bin Khattab, Abu Hanifah tertarik metode Umar dalam menetapkan hukum dengan menggunakan ”Kemaslahatan Ummah” atau kepentingan umum sebagai dasarnya.
b.      Ali bin Abi Thalib, Imam Abu Hanifah terkesan kepada Ali dalam memehami hakekat Islam, dan pengamalan-pengamalannya secara sungguh-sungguh.
c.       Abdullah ibnu Mas’ud, Imam Abu Hanifah terkesan dengan ketekunannya dalam mempelajari dan mendalami ajaran Islam.
d.      Abdullah Ibnu Abbas, Imam Abu Hanifah terkesan atas metodenya mempelajari ayat-ayat Al-quran. Dan dari Abdullah inilah Imam Abu Hanifah mendapatkan ilmu pengetahuan Al-Quran dan cara-cara menafsirkanya.[6]




Imam Abu Hanifah wafat pada bulan Rajab tahun l50 Hijriyah (767 Masehi) 
Dengan meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Hammad. Dan  pada tahun itu juga menurut riwayat merupakan kelahiran Imam Asy-Syafi’i. Jenazah beliau dimakam kan di Al-Chaizaran kota Baghdad.[7]
Imam Abu Hanifah termasuk generasi Islam ketiga setelah Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat, pada masanya masih ada para sahabat Rasul SAW yang masih hidup dan beliau sendiri telah berkata : “ Aku pernah bertemu dengan tujuh orang sahabat Nabi Muhammad SAW dan aku pernah dengar khabar ( hadits ) dari pada mereka masing-masing “.[8]
Para ahli tarikh ada meriwayatkan bahwa tujuh orang sahabat Nabi Muhammad SAW yang pernah ditemui oleh Imam Abu Hanifah adalah :
1)      Anas bin Malik
2)      Abdullah bin Harits
3)      Abdullah bin Abi Auf
4)      Watsilah bin Al-Asqa
5)      Ma’qil bin Al-Asqa
6)      Abdullah bin Anis, dan Abu Thufail.[9]
Menurut riwayat yang lain pada masa beliau, terdapat empat ulama’ yang tergolong sahabat yang masih hidup, yaitu :
1)      Anas ibn Malik di Bashrah
2)      Abdullah ibn Ubai di Kuffah
3)      Sahl ibn Sa’d al- Sa’idi di Madinah
4)      Abu al-Thufail ‘Amir ibn Wa’ilah di Madinah.[10]
Imam Abu Hanifah belajar fiqh kepada ulama’ aliran Iraq ( ra’yu ). Ia dianggap memenuhi kriteria untuk mewakili pemikiran ahli ra’yu. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui guru dan muridnya, sehingga kita dapat mengetahui bahwa Imam Hanifah benar-benar termasuk seorang generasi pengembang ahli ra’yu.
Adapun para ulama’ yang terkenal, yang pernah beliau ambil ilmu pengetahuannya pada waktu itu kira-kira ada 200 orang ulama’ besar. Setiap ada negeri atau kota yang didengar oleh beliau ada ulama’nya yang besar dan terkenal, maka dengan segera beliau memerlukan datang dan belajar atau berguru kepadanya, sekalipun hanya dalam waktu sebantar.[11]
Menurut riwayat, kebanyakan guru-guru beliau dikala itu ialah para ulama’ tabi’in ( golongan orang yang hidup di masa para sahabat Nabi Muhammad SAW ). Diantara mereka itu ialah Imam ‘Atha bin Abi Rabah ( wafat pada tahun 114 H ); Imam Nafi’ Maula Ibnu ‘Umar ( wafat pada tahun 117 H ) ; dan lain-lainnya. Adapun orang alim ahli fiqh yang menjadi guru beliau yang paling terkenal ialah Hammad bin Abu Sulaiman ( wafat pada tahun 120 H ).[12]
Di antara orang yang pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah ialah Muhammad Al-Baqir, Imam ‘Ady bin Sabit, Imam Abdur-Rahman bin Harmaz, Ima Amr bin Dinar, Imam Mansur bin Mu’tamir, Imam Syu’bah bin Hadjdjah, Imam ‘Ashim bin Abin Nadwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi’ah Abi Abdur-Rahman.
Adapun murid-murid Imam Hanifah yang terkenal dan mengembangkan madzhabnya adalah Abu Yusuf, Muhammad Ibn Al-Hasan, Imam Zafar bin Hudjail dan Imam Hasan bin Zayad. Abu Yusuf merupakan salah seorang murid sekaligus sahabat Imam Hanifah yang terus menegembangkan mazhab Hanafi. Karena Abu Yusuf yang paling banyak menulis dan mengembangkan ajaran-ajaran Imam Hanifah. Selain mengembangkan mazhab Abu Hanifah, beliau diangkat menteri kehakiman oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah.[13]
Imam Hanafi karena beliau dikenal sebagai ahli fiqh dan ilmu kalam, maka di waktu beliau masih hidup tidak sedikit para ulama’ yang pernah menjadi muridnya atau berguru kepada beliau. Oleh karena itu, di waktu beliau wafat di antara para ulama’ yang terkenal menjadi sahabat karib dan murid beliau, seperti : Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan, Imam Hasan bin Ziyad dan lain-lainnya. Mereka membicarakan dan membahas masalah-masalah yang bersumber dari beliau ( Imam Hanifah ).
Menurut riwayat, bahwa para ulama’ Hanafiyah telah membagi masalah fiqh bagi madzhab Hanafi menjadi tiga bagian atau tiga tingkatan, yaitu : tingkat pertama dinamakan “ Masailul Fiqh “; tingkat kedua dinamakan “ Masailul Nawadir “ dan tingkat ketiga dinamakan “ Al Fatawa wal Waqi’ah “.[14]
Masailul Fiqh merupakan kitab kumpulan Dhahirul Riwayat, kitab ini berisi tentang pendapat-pendapat atau masalah-masalah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah yang terkumpul dalam satu kitab yang bernama kitab Masailul Fiqh, sedangkan isinya memiliki riwayat yang diyakini kebenarannya, karena diriwayatkan oleh murid-murid Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya yang terkenal seperti Abu Yusuf dan lainnya.[15]

Kitab pertama ini lebih tinggi mutunya dari pada kitab tahap kedua dan ketiga. Sedangkan kitab Dzahirul Riwayat yang dihimpun oleh Imam Muhammad bin Hasan, terdiri dari enam kitab, yaitu :
a.       Kitab Al-Mabsuuth
b.      Kitab Jami’il Kabiir
c.       Kitab Jami’us Shaghir
d.      Kitab As-Sairush Shaghir
e.       Kitab As-Sairush Kabir
f.       Kitab Az-Ziyaadat.[16]
Isi kandungan kitab-kitab di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut :[17]

Pertama, kitab “ Al-Mabsuth “. Kitab ini berisi beribu-ribu masalah keagamaan yang dipegang atau ditetapkan oleh Imam Abu Hanifah, dan berisi beberapa masalah yang menyalahi pegengan atau penetapan Imam Abu Hanifah yang utama. Orang yang meriwayatkan kitab Al Mabsuth adalah Imam Ahmad bin Hafsh Al-Kabi.
Kedua, kitab “ Jami’us Shaghir “. Kitab ini berisi beberapa masalah yang diriwayatkan oleh Imam ‘Isa bin Abban dan Imam Muhammad bin Sima’ah, keduanya merupakan murid Imam Muhammad bin Hasan; kitab ini berisi 40 fasal daripada pasal-pasal fiqh, yang permulaannya pasal “ Ash-Shalah “; tetapi dalam bab ini tidak diberi bab-bab pasalnya. Oleh karena itu lalu diatur, disusun dan diberi bab-bab oleh Al-Qadhy Abut-Thahir, Muhammad bin Muhammad Ad-Dabbas, untuk memudahkan bagi barang siapa yang hendak mempelajarinya.
Ketiga, kitab “ Jami’il Kabir “ kitab ini berisi sama seperti kitab yang kedua “ Jami’us Shaghir “, hanya saja uraian dan keterangan lebih panjang.
Keempat, kitab “ As-Sairus Shaghir “. Kitab ini berisi masalah-masalah jihad semata-mata. Dan yang kelima kitab “ As-Sairus Kabir “. Kitab ini berisi masalah-masalah fiqh juga. Kitab ini merupakan kitab terakhir yang dikarang oleh Imam Muhammad bin Hasan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Sulaiman Al-Djauzadjany dan Imam Isma’il bin Tsuwabah.
Beliau selain dikenal sebagai ulama’ yang pertama kali yang merencanakan ilmu fiqh yang diberi bab-bab dan pasal-pasal, karena pada masa sahabat dan tabi’in belum dihimpun dan disusun barulah pada masa beliau dihimpun dan disusun kitab fiqh. Beliau juga dikenal sebagai ulama’ yang pertama kali menyusun kitab “ faraidl “, yaitu sebuah kitab yang mengatur urusan pembagian harta pusaka menurut hukum Islam, dan kitab “ Asy-Syuruth “, sebuah kitab yang berisi khusus soal-soal perjanjian menurut hukum Islam.[18]
b.            Jihad Menurut Pandangan Imam Abu Hanifah dan ulama’ Hanafiyyah

            Menurut mazhab Hanafi sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’, “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan menurut pengertian syari’at, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.[19]
            Hukum wajib dalam jihad pun ada yang fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Mengenai fardhu ‘ain dalam jihad tidak ada perselisihan yaitu jihad perlawanan ( jihad al-daf ). Dengan kata lain, jihad untuk mengusir penjajah serta membebaskan negeri dan penduduk Islam dari penjajahan. Akan tetapi, yang menjadi perselisihan adalah dalam bentuk fardhu kifayah. 
            Menurut seorang ulama’ Hanafiyyah, yaitu Al- Kasani, yang diberi gelar raja ulama’ ( Malik Al- ulama’ ), dalam bukunya yang terkenal, Al-Badai Al-Shana’i fi Tartib Al-Syara’i. Dia menulis :
Apabila hukum jihad fardhu kifayah, pemimpin tidak boleh mengosongkan satu tempat pun dari pasukanpun yang cakap dalam berperang dan ditakuti musuh. Umat Islam yang ada di belakang tentara-yang paling dekat dan seterusnya-harus pergi kepada tentara tersebut untuk memberikan bantuan senjata, kuda, dan dana “.

Demikianlah penafsiran Al- Kasani tentang fardhu kifayah, yaitu pemimpin tidak boleh mengosongkan satu tempat pun dari pasukan yang tangguh dan memiliki kemampuan untuk mengusir musuh, jika musuh akan menyerang umat Islam. Jika tidak, setiap orang yang dekat dengan pasukan tersebut harus ikut bergabung untu memberikan bantuan berupa harta dan senjata. Al-Kasani tidak menyebutkan bahwa fardhu kifayah berarti memerangi orang-orang kafir satu kali dalam setahun.
Sedangkan ulama’ lain dari mahzab Hanafiyyah yakni Imam Abu Bakar Al-Razi ( Al-Jashshash ) menjelaskan tentang hukum jihad sebagaimana ditulis dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur’an. Diriwayatkan dari Ibn Syubrumah, Al-Tsauri, dan yang lainnya bahwa hukum jihad adalah sunah, bukan wajib. Yang dimaksud oleh Al-Jashshash dengan jihad adalah peperangan dan juga jihad penyerangan. Mereka berpendapat bahwa ayat, Diwajibkan atas kamu berperang ( QS Al-Baqarah : 216 ), tidak menunjukkan wajib tapi sunah. Diriwayatkan bahwa Umar pun berpendapat sama, meskipun kesahihan riwayat darinya diperselisihkan. Sebagai mana pendapat  Imam Abu  Hanifah bahwa hukum jihad adalah wajib sampai hari kiamat. Yakni jihad penyerangan dan melakukan penyerangan ke negeri-negeri musuh.[20] 
            Sebagaimana juga di tambahkan oleh ulama’ Hanafiyah Al-Jashshash menyebutkan sebagaimana diketahui oleh seluruh umat Islam, apabila penduduk suatu negeri takut terhadap serangan musuh dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan sehingga khawatir terhadap negeri, diri sendiri dan anak-anak mereka, maka seluruh umat wajib menghadang musuh agar tidak memusuhi umat Islam.[21]   Imam Abu Bakar Al-Razi ( Al-Jashshash ) menjelaskan hal tersebut bahwa jihad adalah sunah bukan wajib. 
      
2.      Imam Syafi’i
a.      Biografi Imam Syafi’i

Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Imam Syafi’i Muhammad Ibn Idris Ibn Al-Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi’i Ibn Al-Sa’ib Ibn ‘Ubaid Ibn ‘Abd Yazid Ibn Hasyim Ibn ‘Abd Al-Muthalib Ibn ‘Abd Manaf.[22]  Dari berbagai sumber, diketahui bahwa garis keturunan Imam Syafi’i dari pihak Bapak berjumpa dengan keturunan Nabi Muhammad SAW pada ‘Abd Manaf. Jadi Imam Syafi’i termasuk Suku Quraisy yang terkenal dari golongan Al-Azd ( Bani Muthalib ).[23]
Imam Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, sebuah kota yang ada di wilayah Palestina di tepi Laut Tengah pada tahun 150 H ( 767 M ) dan wafat di mesir pada tahun 204 H ( 822 M ). Ketika dilahirkan oleh ibunya, beliau sudah dalam keadaan yatim, karena sudah ditinggalkan oleh ayahnya. Kemudian setelah berusia dua tahun, barulah beliau dibawa pulang oleh ibunya ke Mekkah.[24]
Beliau dilahirkan pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far Al-Mannshur ( 137-159 H/754-774 M ). Imam Syafi’i berusia 9 tahun ketika Abu Ja’far Al-Manshur diganti oleh Muhammad Al-Mahdi ( 159-169 H/ 775-785 M ). Ketika Imam Syafi’i berusia dewasa ( 19 tahun ), Muhammad Al-Mahdi diganti oleh Musa Al-Mahdi ( 169-170 H/ 785-786 M ). Ia berkuasa hanya satu tahun, digantikan oleh Harun Al-Rasyid ( 170-194 H/786-809 M ). Pada awal kekuasaan Harun Al-Rasyid, Imam Syafi’i berusia 20 tahun. Harun Al-Rasyid digantikan oleh Al-Amin ( 194-218 H/809-813 M ), dan Al-Amin digantikan oleh Al-Makmun ( 109-218 H/ 813-833 M ).[25]
Imam Syafi’i hidup bersama ibunya di Mekkah dalam keadaan miskin dan serba kekurangan untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Meski demikian Imam Syafi’i termasuk anak yang memiliki cita-cita tinggi dalam menuntut ilmu, terutama ilmu agama walaupun dari segi pembiayaannya sangat terbatas ( serba kekurangan ). Demikian itu beliau masih mendapat dorongan dari ibunya karena menginginkan anaknya berhasil dalam menuntut dan mencari ilmu, khususnya ilmu agama. Kejadian tersebut di atas yaitu kembali setelah dibawa kembali oleh ibunya ke Mekkah pada usia 2 tahun dan beliau menetap di Mekkah selama 20 tahun. [26]
Selama masa kecilnya di Mekkah,   Syafi’i khusus mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam. Sedangkan pada usia muda, perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu agama sedang berada pada puncak kejayaannya, terutama pada masa khalifah Harun Al-Rasyid ( 170-193 M ). Sedangkan pusat pengetahuan Islam berpusat di Mekkah, Madinah, Kuffah ( Iraq ), Syam, dan Mesir.[27]
Oleh karena itu, Imam Syafi’i mempunyai kesempatan yang luas dan didukung oleh kondisi untuk dapat menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan secara maksimal. Pendidikannya diawali dengan belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an, yaitu lembaga pendidikan tingkat dasar di  Kuffah.[28]
Dalam membaca Al-Qur’an Imam Syafi’i berguru kepada Ismail bin Qusrhanthein dan dalam usia anak-anak yaitu umur 9 tahun, beliau sudah hafal Al-Qur’an sebanyak 30 juz. Setelah selesai mempelajari Al-Qur’an, Imam Syafi’i melengkapi ilmunya dengan mendalami bahasa dan sastra Arab. Dalam bidang bahasa, Imam Syafi’i tertarik pada bidang prosa dan puisi, syair-syair dan sajak-sajak bahasa Arab. Untuk itu beliau pergi ke pedesaan ( badiyah ) dan bergabung dengan Bani Huzail, suku bangsa Arab yang paling fasih bahasanya. Dari suku inilah Imam Syafi’i mempelajari bahasa dan sya’ir-sya’ir Arab sehingga ia benar-benar menguasai dengan baik.[29]
Imam Syafi’i wafat pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 29 Rajab sehabis waktu Isya’ tahun 240 Hijriyah ( 820 Masehi ) di Mesir. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Bani Zuhrah, yang terkenal pula sebagai perkuburan anak keturunan Abdul Hakam. Yaitu di Qarafah Shughra, di pemakaman inilah jenazah Imam Syafi’i dimakamkan, yang hingga sekarang masih terkenal, letaknya dibawah kaki gunung “ Al-Muqaththam “di Mesir. [30]

Imam Syafi’i dari kecil, seorang yang memang mempunyai sifat “ pecinta ilmu “. Oleh sebab itu sekalipun bagaimana juga keadaannya, beliau tidak jemu untuk menuntut ilmu kepada orang-orang yang dipandangnya mempunyai keahlian tentang ilmu dan amat rajin mempelajari ilmu yang tengah dituntutnya. [31] 
Di antara guru-guru beliau yang terkenal adalah :
  1. Guru beliau di Mekkah yaitu : Sufyan bin ‘Uyainah, Muslim bin Khalid Al-Zanji Said Ibn Salim Al-Kadda, Daud ibn “ Abd Al Rahman Al-‘Aththar dan ‘Abd Al-Hamid ‘Abd Al-Aziz ibn Abi Zuwad.
  2. Guru beliau di Madinah yaitu : Imam Malik bin Anas, Imam Malik merupakan puncak tradisi Madrasah Madinah ( hadist ). Selain Imam Malik guru-guru Imam Syafi’i di Madinah adalah : Ibrahim Ibnu Sa’ad Al-Anshari, ‘Abd Al- Aziz ibn Muhammad ibn Sa’id ibn Abi Fudaik dan ‘Abdullah ibn Nafi.
  3. Guru beliau di Kuffah yaitu : Muhammad Ibn Al-Hasan Al-SyaiBani yang beraliran Hanafi. Imam Abu Hanifah adalah puncak tradisi Madrasah Kuffah ( ra’yu ).[32]
Selain mempunyai banyak guru, Imam Syafi’i juga mempunyai murid-murid yang pada periode berikutnya mengembangkan ajaran fiqhnya. Di antara murid-murid beliau adalah :
Murid-murid Imam Syafi’i sewaktu beliau berada di bagdad, antara lain :

  1. Abu Ali Al-Hasan Az-Za’faran ( wafat 260 H )
  2. Husein bin Ali Al-Karabisi ( wafat 240 H )
  3. Imam Ahmad bin Hambal ( wafat 240 H )
  4. Abu Tsur Al-Kalabi ( wafat 240 H )
  5. Ishak bin Ruhuyah ( wafat 277 )
  6. Abdullah bin Zubair Al-Humaidi ( wafat 219 H ) dan lain-lain.[33]

Murid-murid Imam Syafi’i sewaktu beliau berada di Mesir, antara lain :

  1. Ar-Rabi’in bin Sulaiman Al-Muradi ( wafat 232 H )
  2. Abdullah bin Zubair Al-Humaidi ( wafat 219 H )
  3. Al-Buaithi ( wafat 232 H )
  4. Abu Ibrahim Ismail binYahya Al-Muzany ( wafat 264 H )
  5. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam ( wafat 268 H )
Dalam peta pemikiran fiqh Sunni, Imam Syafi’i merupakan aliran “ sintesis “ dari dua aliran yang berbeda yaitu : aliran Iraq dan aliran Madinah. Dalam menguasai fiqh Madinah, ia berguru langsung kepada Imam Malik sedangkan dalam menguasai fiqh Iraq ia berguru langsung kepada Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Syai Bani yang merupakan pelanjut fiqh Hanifah.[34]
Imam Syafi’i selain seorang alim ahli mengajar dan mendidik, juga sebagai pengarang sya’ir dan sajak. Juga beliau adalah seorang pengarang kitab-kitab yang bermutu tinggi dan sangat berguna bagi dunia Islam.
Adapun kitab-kitab karangan Imam Syafi’i adalah terbagi menjadi dua bagian pertama, yang diajarkan dan didektekan kepada murid beliau ketika di Iraq ( Bagdad ). Pengajaran itu lalu dihimpun dan disusun menjadi kitab. Dan kitabnya lalu dikenal dengan orang dengan “ qaul qadim “. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i yang diajarkan dan ditulis di Mesir dikenal dengan “ qaul jadid “.[35]

Sebab-sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena Imam Syafi’i mendengar dan menemukan hadist dan fiqh yang diriwayatkan oleh ulama’ Mesir, yang tergolong ahl al hadist. Kamil Musa mengatakan bahwa pendapat Imam Syafi’i yang didektekan dan ditulis di Iraq ( 195 H ), disebut qaul qadim. Pendapat Imam Syafi’i yang didektekan dan dituliskan kepada muridnya di Mesir disebut qaul jadid.[36]
Adapun sebab timbulnya qaul jadid menurut Kamil Musa, adalah karena Imam Syafi’i mendapatkan hadist yang tidak ia dapatkan di Iraq dan Hijaz, dan ia menyaksikan adat dan kegiatan mu’amalat yang berbeda dengan di Iraq. Pendapat Imam Syafi’i yang termasuk qaul jadid dikumpulkan dalam kitab Al-Umm.[37]

Dari sisi lain, perubahan-perubahan hukum dari qaul qadim ke qaul jadid dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut :

  1. Perbedaan ayat atau hadist yang digunakan sebagai dalil. Misalnya pada kasus air musta’mal, qaul qadim merujuk pada surat Al-Furqan ayat 48, sebagai dasar bahwa air tersebut dapat digunakan kembali untuk bersuci, tetapi pada qaul jadid ayat yang digunakan dalil adalah merujuk pada surat Al-Maidah ayat 6.
  2. Wajh Istidlal atau cara pandang dalam memahami ayat ataupun hadist yang sama. Misalnya, pada pembahasan mengenai penyaksian rujuk, As-Syafi’i tidak mengemukakan ayat lain untuk qaul jadid-nya. Yang mengalami perubahan hanyalah pemahaman terhadap ayat yang bersangkutan.
  3. Perbedaan pandangan terhadap adanya ijma’. Misalnya pada qaul qadim, As-Syafi'i menganggap perintah Umar dan pendapat Ibnu Abbas tentang masalah zakat Zaitun sebagai ijma’ karena tidak ada sahabat yang membantahnya. Sedangkan pada qaul jadid setelah mengadakan penelitian dengan cermat ia beranggapan bahwa tidak adanya bantahan tersebut tidak berarti bahwa mereka sependapat tentang hukum tersebut, melainkan sebagai kepatuhan terhadap Umar yang mengeluarkan aturan sebagai penguasa.
  4. Perbedaan ashl dan atau ‘illat pada qiyas yang digunakan. Misalnya, pada qaul qadim, ia menjadikan nikah sebagai ashl bagi rujuk sehingga kesaksian diwajibkan pada rujuk seperti wajibnya pada nikah, tetapi pada qaul jadid, rujuk diqiyaskannya kepada jual beli dan kesaksiannya pun menjadi tidak wajib.
  5. Perbedaan pandangan terhadap kedudukan qaul shahabi. Misalnya, pada qaul qadim, zakat zaitun diwajibkan atas dasar pendapat Umar r.a dan Ibnu Abbas r.a, yakni qaul shahabi yang ketika itu dipandang sebagai hujjah. Tetapi hukum itu dirubah pada qaul jadid, setelah ia tidak mengakui qaul shahabi sebagai hujjah.[38]

Adanya perubahan fatwa Imam Syafi’i dari qaul qadim ke qaul jadid, seperti diuraikan di atas, tampak bahwa hukum dalam mazhab Syafi’i bersifat dinamis. Karena kebenaran hukum-hukum yang ditemukan dari ijtihad itu bersifat relatif ( zhani ), bukan mutlak, maka ia tetap terbuka bagi pengkajian dan kemungkinan berubah. Keterbukaan di maksud jelas sekali terlihat dari hal-hal sebagai berikut :

a)      Praktik Imam Syafi’i sendiri yang dalam waktu singkat telah mengemukakan beragam fatwa. (keragamannya tidak hanya terdapat antara qaul qadim dan qaul jadid, tetapi juga diantara dua atau lebih qaul qadim dan qaul jadid

b)      Larangan taqlid serta anjuran ijtihad yang ditekankan As-Syafi’i terhadap murid-muridnya, termasuk arahan agar memeriksa kembali dan meninggalkan fatwanya bila tidak sesuai dengan As-sunnah.
c)      Penyusunan dan penataan kaidah-kaidah Ushul Fiqih sebagai pedoman dalam melakukan ijtihad.
d)     Kenyataan bahwa kaidah-kaidah ushul fiqih As-Syafi'i itu mengalami perkembangan melalui kajian lebih lanjut oleh para ulama’ As-Syafi'iyah.
e)      Praktik para murid dan pengikut As-Syafi'i yang senantiasa melakukan ijtihad, berupa penelitian terhadap fatwa As-Syafi'i sendiri dan penetapan hukum terhadap masalah-masalah baru.
f)       Kenyataan adanya perbedaan saling koreksi yang saling berkelanjutan dikalangan ulama’ As-Syafi'iyah dalam kegiatan ijtihad, tarjih, dan takhrij.
g)      Kenyataan bahwa para ulama’ As-Syafi'iah mewajibkan mufti berijtihad, termasuk ketika akan berfatwa tentang masalah yang mirip (nazhir), dengan yang telah pernah difatwakannya,   
h)      Kenyataan adanya beberapa fatwa qaul qadim As-Syafi'i yang dipilih kembali oleh para sahabatnya.
i)        Kenyataan bahwa penyimpangan fatwa demi kemaslahatan diakui sebagai kaidah baru dikalangan ulama’ As-Syafi'iyah.
j)        Kenyataan adanya penyimpangan fatwa As-Syafi'i berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri.
k)      Kenyataan bahwa setidak-tidaknya sebagian ulama’ Al-Syafi’yah tidak membenarkan taqlid kepada mujtahid yang telah wafat.
            Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas dapat ditarik pemahaman bahwa sesungguhnya mazhab Syafi’i menghendaki agar hukum yang difatwakannya harus selalu baru. Setiap kejadian memerlukan fatwa dan menuntut ijtihad  sendiri, yang terpenting diperhatikan adalah agar berijtihad dilakukan dengan benar, sesuai dengan kaidah-kaidah baku, supaya hukum yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan sebagai hukum Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i tidak siapapun boleh berbicara tentang halal dan haram tanpa ilmu, dan ilmu nyang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits (Al-Sunnah), Ijma’ dan Qiyas.
            Salah satu kitab yang banyak menjelaskan tentang qaul qadim dan qaul jadid adalah al – muhadzab fi fiqh al-Imam As-Syafi'i Radiya Allah ‘anh, karya Abi Ishaq Ibrahim Ibnu ‘Ali Ibn Yusuf Abadai Al-Syirazi. Dalam kitab itu disebutkan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qadim dan qaul jadid.5
            Kitab-kitab Imam Syafi’i diantaranya yang langsung dikarang atau ditulis oleh beliau sendiri adalah Al-Risalah, Al-Umm , Qiyas dan al-Musnad. Mengenai kitab yang dikarang Imam Syafi’i sewaktu di Mesir , yaitu :
a.       Ar- Risalah ( Ushul Fiqh )
b.      Ahkamil Qur’an ( Ilmu Ushul Fiqh )
c.       Ikhtilaful Hadist ( Ilmu Ushul Fiqh )
d.      Kitab Al-Umm dalam bidang Fiqh, dan masih banyak lagi yang jumlahnya sekitar 18 kitab.[39]

            Adapun kitab-kitab karangan beliau, menurut riwayat yang hingga sekarang masih tercatat adalah antara lain :
a.       Kitab Ar- Risalah
            Kitab ini khusus berisi Ilmu Ushul Fiqh. Kitab inilah permulaan kitab ushul fiqh. Beliaulah orang pertama yang mengarang kitab ushlul fiqh. Dalam kitab ini Imam Syafi’i mengarang dengan jelas tentang orang yang beristinbat, mengambil hukum-hukum dari Al- Qur’an dan Sunnah, dan cara-cara orang beristidlal dari ijma’ dan qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Imam Ar-Rabi bin Sulaiman Al-Murady.
b.      Kitab Al- Umm
            Kitab ini adalah satu-satunya kitab fiqh yang besar, yang direncanakan dan disusun oleh Imam Syafi’i. Isi kitab ini menunjukkan kealiman dan kepandaian Imam Syafi’i tentang Ilmu Fiqh, karena susunan kalimatnya tinggi dan indah, ibaratnya bagi para ahli fakir yang ahli fiqh. Tepatnya kalau kitab ini dinamakan Al-Umm yaitu “ Ibu bagi anak-anak sebenarnya “.
            Cetakan terbaru dari kitab Al-Umm ini menjadi 7 jilid besar dan tebal, atas biaya almarhum Ahmad Bek Al-Husainy di Mesir. Dalam kitab Al-Umm cetakan terbaru ini, termasuk juga kitab-kitab karangan Imam Syafi’i yang lain, seperti :
1)      Kitab jami’ul Ilmi. Kitab ini berisi pembelaan Imam Syafi’i terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW.
2)      Kitab Ibhtalul Istihsan. Kitab ini berisi tangkisan Imam Syafi’i kepada para ulama’ ahli Iraq ( Baghdad ), yang mereka itu sebagian suka mengambil hukum dengan cara Istihsan.
3)      Kitab Ar-Ra’du ‘ala Muhammad Ibn Hasan. Kitab ini berisi pertahanan Imam Syafi’i terhadap serangan Muhammad ibn Hasan kepada ulama’ ahli Madinah.
4)      Kitab Sijarul Auza’y. kitab ini berisi pembelaan Imam Syafi’i terhadap Imam Al-Auza’y. beliau ini seorang alim besar ahli hadist dan termasuk Imam besar di masa sebelum Imam Syafi’i dilahirkan.
c.       Kitab Ikhtilaful Hadist
            Inilah satu-satunya kitab yang ditulis oleh Imam Syafi’i yang di dalamnya penuh dengan keterangan dan penjelasan beliau tentang perselisihan hadist-hadist Nabi Muhammad SAW. Maka bagi para ulama’ ahli hadist baik sekali mengetahui dan mentela’ah kitab ini.
d.      Kitab Al- Musnad

            Kitab ini adalah sebuah kitab yang istimewa berisi sandaran ( sanad ) Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang beliau himpun dalam kitab Al-Umm. Bagi para ulama’ yang hendak mengetahui siapa-siapa sanad Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits Nabi Muhammad SAW hendaknya membaca dan memperhatikan kitab ini.[40] 
            Kitab-kitab karangan Imam Syafi’i yang hingga sekarang ini masih dapat diketahui dan dipelajari isinya. Adapun kitab-kitab lainnya, merupakan riwayat adalah :
a.      Kitab al-fiqh, yang diriwayatkan dan disusun oleh Imam Al-Haramain bin Yahya dari Imam Syafi’i dengan jalan Imla’ ( dekte ).
b.      Kitab Al-Muchtasharul Kabir dan al- Muchtashrarul Shaghir yang semuanya itu dihimpun dan disusun oleh Imam Al-Buwaity dan Imam Syafi’i.
c.       Kitab Al-Muchtasharul Kabir dan al- Muchtashrarul Shaghir serta dua kitab lainnya yang bernama Al-Djami’ul Kabir dan Al- Djami’ul Shaghir yang semuanya itu disusun dan dihimpun oleh Imam Al-Muzany dari Imam Syafi’i.
d.      Dan lain-lain kitab dari tafsir, kitab adab dan beberapa risalah yang belum kita ketahui nama-namanya, karena mungkin belum dicetak kembali.[41]

            Sedangkan kitab-kitab yang ditulis oleh murid-murid Imam Syafi’i antara lain :
a.       Yang ditulis oleh Al- Muzany ( wafat 305 H ) adalah Al- Watsaiq dan Al- Mu’tabir.
b.      Yang ditulis oleh Ibn Qash ( wafat 335 H ) adalah Al-Miftah, Al-AdaAbul Qadhi dan Al- Talkhisan.
c.       Yang ditulis oleh Imam Jurjari Al-Wakalah.
d.      Yang ditulis oleh Muhamili adalah Al-Majmu’, Al-Muqra’, dan Al-Lubab
e.       Yang ditulis oleh Abu Ishaq As Syirazi ( wafat 476 H ) adalah Al- Muhadzab, Tanbih dan Al- Ma’na.
f.       Yang ditulis oleh Imam Nawawi adalah Manasik, Al- Umdah, Al- Fatawi, dan Syarah Al-Majmu’
g.      Syarah Tanbih dikarang oleh Zarkashi ( wafat 794 H )
h.      Tahbirul Mazhab dikarang oleh Taqiyuddin Subki ( wafat 756 H )

            Inilah diantara kitab-kitab yang membahas mazhab Syafi’i yang sebenarnya menurut riwayat berjumlah 97 kitab, yang kesemuanya dikarang oleh Imam Syafi’i langsung dan murid-muridnya.[42]

                        b.   Jihad Menurut Pandangan Imam Syafi’i  dan Syafi'iyah
Menurut Imam Syafi’i berkata “ Kemudian Allah mengizinkan Rasul-Nya untuk berhijrah ke Madinah. Setelah itu, mengizinkan  mereka untuk melakukan jihad dan mewajibkan mereka berhijrah berhijrah dari negeri kaum musyrik”.[43] Allah SWT memerintahkan kaum Muslimin berhijrah menahan kesusahan berjuang dengan harta, tenaga dan jiwa mereka itu merupakan bagian dari bentuk jihad.  Sebagaimana secara bahasa jihad berarti dari  asal isim masdar “jahdan” yang berarti kesusahan, berlebih-lebihan dan terlalu. Sedangkan dengan bentuk isim masdar “juhdun” berarti kekuasaan, tenaga dan daya upaya.[44]  dan juga ditambahkan oleh ulama’ Syafi’iyah,  Ibn Hajar yang berpendapat, pergi memerangi orang-orang kafir. Makna asal dari al-nafir adalah pergi dari satu tempat ke tempat lain karena ada alasan yang menggerakkannya. Adapun kewajiban jihad dan niat bermakna penjelasan tentang jumlah jihad yang diwajibkan serta keharusan niat didalamnya. Terkait masalah jihad, manusia memiliki dua kondisi pada zaman Nabi SAW dan setelah zaman Nabi SAW.
Pada kondisi pertama, sebagaimana disepakati, jihad pertama kali disyari’atkan setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah. Akan tetapi, setelah jihad disyari’atkan, apakah hukumnya fardhu ain atau fadhu kifayah. Imam Syafi’i berkata : asal kewaiban jihad,[45] sebagaimana firman Allah SWT  :

(#rãÏÿR$# $]ù$xÿÅz Zw$s)ÏOur (#rßÎg»y_ur öNà6Ï9ºuqøBr'Î/ öNä3Å¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçFZä. šcqßJn=÷ès? ÇÍÊÈ

Artinya :   Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. ( QS. At-Taubah : 41 )[46]
Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya menunjukkan bahwa wajibnya jihad itu sesungguhnya ditunjukkan kepada orang-orang yang mampu untuk melaksanakannya, hingga berkumpul dua hal :
Pertama, berada didepan musuh yang menakutkan kaum Muslimin dan ia dapat mencegahnya.
Kedua, bagi kaum muslimin agar berjihad dan dari mereka ada yang mempunyai kemampuan sehingga para penyembah berhala masuk Islam atau hingga Ahli kitab membayar jizyah. Jika dari kaum Muslimin ada yang mempunyai kemampuan untuk itu, maka orang yang tidak ikut tidak berdosa meninggalkan jihad.

Iman Syafi’i berpendapat tentang orang yang berhalangan ( mininggalkan jihad ) karena alasan lemah, sakit dan lumpuh.[47] Sebagaimana ia mengutip ayat suci Al-Quran :

ãNåk÷]ÏBur šúïÏ%©!$# tbrèŒ÷sム¢ÓÉ<¨Z9$# šcqä9qà)tƒur uqèd ×bèŒé& 4 ö@è% ãbèŒé& 9Žöyz öNà6©9 ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ß`ÏB÷sãƒur šúüÏYÏB÷sßJù=Ï9 ×puH÷quur z`ƒÏ%©#Ïj9 (#qãZtB#uä öNä3ZÏB 4 tûïÏ%©!$#ur tbrèŒ÷sムtAqßu «!$# öNçlm; ë>#xtã ×LìÏ9r& ÇÏÊÈ
Artinya :   Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”,( QS. At-Taubah : 61.) dan Allah berfirman pula : “ Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, …” ( QS. An-Nur : 61 ).
 Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang tidak boleh berjihad bersama Imam yakni orang munafik sebagai mana pendapatnya : “ tidak boleh bagi Imam membiarkan orang-orang munafik ikut berperang bersamanya. Jika mereka berperang bersamanya, maka ia tidak boleh memberi mereka bagian ( ghanimah ) ". Ia tidak boleh memberi ghanimah itu sedikitpun, karena orang itu termasuk orang yang dilarang oleh Allah untuk berperang bersama kaum Muslimin.[48]
 3. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
                  a.   Biografi Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
            Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Syamsuddin Muhammad Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d bin Huraiz bin Makk Zainuddin az-Zur’i ad-Dimasyqi dan dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
            Dia dilahirkan pada tanggal 7 Shafar tahun 691 H.[49] Dia tumbuh dewasa dalam suasana ilmiah yang kondusif. Ayahnya adalah kepala sekolah Al-Jauziyah di Dimasyq (Damaskus) selama beberapa tahun. Karena itulah, sang ayah digelari Qayyim Al-Jauziyah. Sebab itu pula sang anak dikenal di kalangan ulama’ dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
Dia memiliki keinginan yang sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Tekad luar bisaa dalam mengkaji dan menelaah sejak masih muda belia. Dia memulai perjalanan ilmiahnya pada usia tujuh tahun. Allah mengkaruniainya bakat melimpah yang ditopang dengan daya akal luas, pikiran cemerlang, daya hafal mengagumkan, dan energi yang luar bisaa. Karena itu, tidak mengherankan jika dia ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai lingkaran ilmiah para guru (syaikh) dengan semangat keras dan jiwa energis untuk menyembuhkan rasa haus dan memuaskan obsesinya terhadap ilmu pengetahuan. Sebab itu, dia menimba ilmu dari setiap ulama’ spesialis sehingga dia menjadi ahli dalam ilmu-ilmu Islam dan mempunyai andil besar dalam berbagai disiplin ilmu.
            Ibnu Al-Qayyim telah berguru pada sejumlah ulama’ terkenal. Mereka inilah yang memiliki pengaruh dalam pembentukan pemikiran dan kematangan ilmiahnya. Inilah nama guru-guru Ibnu Al-Qayyim[50]
1. Ayahnya Abu Bakr bin Ayyub (Qayyim Al-Jauziyah) di mana Ibnu Al-Qayyim mempelajari ilmu faraid. Ayahnya memiliki ilmu mendalam tentang faraid.
2. Imam al-Harran, Ismail bin Muhammad al-Farra’, guru mazhab Hanbali di Dimaskus. Ibnu Al-Qayyim belajar padanya ilmu faraid sebagai kelanjutan dari apa yang diperoleh dari ayahnya dan ilmu fikih.
3. Syarafuddin bin Taimiyyah, saudara Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah. Dia menguasai berbagai disiplin ilmu.
4. Badruddin bin Jama’ah. Dia seorang Imam Masyhur yang bermazhab Syafi’i, memiliki beberapa karangan
5. Ibnu Muflih, seorang Imam Masyhur yang bermazhab Hanbali. Ibnu Al-Qayyim berkata tentang dia, “Tak seorang pun di bawah kolong langit ini yang mengetahui mazhab Imam Ahmad selain Ibnu Muflih.”
            Disiplin ilmu yang didalami dan dikuasainya hampir meliputi semua ilmu syari’at dan ilmu alat. Ibnu Rajab, muridnya, mengatakan, “ Dia pakar dalam tafsir dan tak tertandingi, ahli dalam bidang ushuluddin dan ilmu ini mencapai puncak di tangannya, ahli dalam fikih dan ushul fikih, ahli dalam bidang bahasa Arab dan memiliki kontribusi besar di dalamnya, ahli dalam bidang ilmu kalam, dan juga ahli dalam bidang tasawuf .” Dia berkata juga, “Saya tidak melihat ada orang yang lebih luas ilmunya dan yang lebih mengetahui makna Al-Qur’an, Sunnah dan hakekat iman daripada Ibnu Al-Qayyim. Dia tidak maksum tapi memang saya tidak melihat ada orang yang menyamainya.”
Ibnu Katsir berkata, “ Dia mempelajari hadits dan sibuk dengan ilmu. Dia menguasai berbagai cabang ilmu, utamanya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushuluddin, dan ushul fikih.”
Adz-Dzahabi berkata, “Beliau mendalami hadits, matan dan perawinya. Dia menggeluti dan menganalisa ilmu fikih. Dia juga menggeluti dan memperkaya khasanah ilmu nahwu, ilmu ushuluddin, dan ushul fikih.”
Ibnu Hajar berkata, “Dia berhati teguh dan berilmu luas. Dia menguasai perbedaan pendapat para ulama’ dan mazhab-mazhab salaf.”
As-Suyuthi berkata, “Dia telah mengarang, berdebat, berijtihad dan menjadi salah satu ulama’ besar dalam bidang tafsir, hadits, fikih, ushuluddin, ushul fikih, dan bahasa Arab.”
            Ibnu Tughri Burdi berkata, “Dia menguasai beberapa cabang ilmu, di antaranya tafsir, fikih, sastra dan tata bahasa Arab, hadits, ilmu-ilmu ushul dan furu’. Dia telah mendampingi Syaikh Ibnu Taimiyyah sekembalinya dari Kairo tahun 712 H dan menyerap darinya banyak ilmu. Karena itu, dia menjadi salah satu tokoh zamannya dan memberikan manfaat kepada umat manusia.”
Manusia mengambil manfaat dari ilmu Ibnu Al- Qayyim. Karena itu, dia memiliki beberapa murid yang menjadi ulama’ terkenal. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Al-Burhan Ibnu Al- Qayyim. Dia adalah putra Burhanuddin Ibrahim, seorang ulama’ nahwu dan fikih yang mumpuni. Dia belajar dari ayahnya. Dia telah berfatwa, mengajar, dan namanya dikenal. Metodenya sama dengan sang ayah. Dia memiliki keahlian dalam bidang tata bahasa Arab. Karena itu, dia menulis komentar atas kitab Alfiyah Ibni Malik. Kitab komentar (syarh) itu dia namakan Irsyad al-Salik ila Halli Alfiyah Ibni Malik.
2. Ibnu Katsir. Dia adalah Ismail ‘Imaduddin Abu al-Fida’ bin ‘Umar bin Katsir ad- Dimasyqi asy-Syafi’i, seorang Imam hafizh yang terkenal.
3. Ibnu Rajab. Dia adalah Abdurrahman Zainuddin Abu al-Faraj bin Ahmad bin Abdurrahman yang bisaa digelar dengan Rajab al-Hanbali. Dia memiliki beberapa karangan yang bermanfaat.
4. Syarafuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Dia adalah putra Abdullah bin Muhammad. Dia sangat brilian. Dia mengambil alih pengajaran setelah ayahnya wafat di ash- Shadriyah.
5. As-Subki. Dia adalah Ali Abdulkafi bin Ali bin Tammam as-Subki Taqiyuddin Abu al-Hasan.
            Ibnu Al-Qayyim adalah orang yang sangat banyak mengarang buku[51]. Hal inilah yang menyebabkan inventarisasi karya-karyanya secara teliti menjadi sulit. Inilah diantara daftar buku-buku karangannya yang diberikan para ulama’.
1. Al-Ijtihad wa at-Taqlid. Ibnu Al- Qayyim menyebutkannya dalam kitab Miftah Dar As-Sa’adah.
2. Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah. Telah dicetak berulang kali.
3. Ahkam Ahl adz-Dzimmah. Telah dicetak dalam dua jilid yang ditahkik oleh Shubhi ash-Shalih.
Akan tetapi, orang yang menelaahnya akan menemukan kejelasan bahwa kitab ini adalah karangan Ibnu Al-Qayyim dan ditulisnya setelah berhubungan dengan Ibnu Taimiyyah. Yang menguatkan pendapat ini adalah bahwa Ibnu Al-Qayyim telah menyebutkan kitab ini dalam kitabnya at-Tibyan. Ibnu Al-Qayyim juga telah menyebutkan gurunya, Ibnu Taimiyyah kurang lebih sepuluh kali dalam kitab ar-Ruh dengan mengutip pendapat-pendapatnya serta menyebutkan pendapat yang dipilihnya.
            Sebagai bukti adalah bahwa Ibnu al-Jauzi adalah Abdurrahman bin Ali Al-Qursyi, wafat tahun 597 H. Meskipun dia adalah salah seorang ulama’ dari golongan Hanbali yang terkemuka dan banyak menulis, tapi dalam kajian masalah nama-nama dan sifat Allah SWT dia tidak mengikuti metode Imam Hanbali karena dia dalam hal ini menempuh metode takwil. Ini jelas bertentangan dengan metodologi Ibnu Al-Qayyim sebab dia menempuh metode ulama’ salaf. 
Di antara buku yang dinisbahkan kepada Ibnu Al-Qayyim, padahal sebenarnya itu adalah karya Ibnu al-Jauzi, adalah kitab Daf’u Syubahit-Tasybih bi Akaffit-Tanzih. Kitab ini banyak memuat takwil yang keliru. Karena itu, dia terjerumus dalam ta’thil guna melepaskan diri dari noda tasybih(penyerupaan). 
Allah Tabaroka wa ta’ala telah memberikan petunjuk kepada Ibnu Qayyim Al-Jauziyah sehingga dia mengikuti langkah ulama’ salaf. Sebab itu, dia selamat dari noda tasybih dan bahaya takwil. Dia menempuh cara ulama’ salaf di mana dia hanya menetapkan apa yang ditetapkan Allah SWT untuk diri-Nya dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya tanpa melakukan penyimpangan, tasybih dan ta ‘thil. 
Demikian pula kitab Akhbar an-Nisa’. Kitab ini dinisbahkan kepada Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, padahal kitab ini dikenal sebagai karya Ibnu al-Jauzi. Kitab-kitab biografi sepakat bahwa Ibnu Qayyim Al-Jauziyah wafat pada malam Kamis setelah azan Isya’, tanggal 13 Rajab tahun 751H. Dia dishalati setelah shalat Zhuhur keesokan harinya di Masjid Al-Umawi.
    1. Jihad Menurut Pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
                        Dalam Zad Al-Ma’ad, Ibn Al-Qayyim menulis : “ jihad merupakan tulang punggung Islam. Kedudukan orang-orang yang berjihad amatlah tinggi di akhirat kelak. Begitu pula di dunia ".[52]
                        Setelah turunnya perintah jihad, kaum kafir dimata Nabi diklarifikasikan menjadi tiga kelompok :
  1. mereka yang sedang dalam perjanjian damai dan gencetan senjata.
  2. mereka yang layak diperangi.
  3. mereka yang berada dalam perlindungan.[53]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar